Makalah
Kelompok 8
ANALISIS
DAN PERBANDINGAN KONSEP
IMAN
DAN KUFUR
Pengoreksi
Kelompok IX
Oleh:
Muhlish (10610066)
Abdul Hafiz (10610063)
Israfatul Furaidah (10610064)
Evi Nurul Fatmawati (10610065)
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah atas
limpahan Rahmat, Taufiq, serta Hidayah Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami yang berjudul
“Perbandingan Konsep Iman dan Kufur”.
Shalawat serta salam semoga terlimpahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah banyak memberikan informasi kepada penulis sehingga
terselesaikan tugas makalah ini. Makalah ini kami buat untuk mengetahui konsepiman
dan kufur serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Teologi.
Kami menyadari bahwa dalam makalah
ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para
pembaca dan para pakar, kami mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini benar-benar bermanfaat bagi semua
pihak.
Malang,
April 2011,
Tim Penulis
PENDAHULUAN
Perbincangan tentang iman dan kufur ini
timbulnya pada masa pemerintahan Ali Ibn Abi Talib. Pada waktu itu terjadi
pertempuran antara Saidina Ali dengan Mu’awiyyah Ibn Abi Sufyan. Mu’awiyyah
adalah gabenur Damaskus yang tidak setuju pemerintahan Saidina Ali. Pertempuran
ini terkenal dengan peperangan Siffin (659 M.). Ketika pasukan Saidina Ali
hampir memenangi pertempuran tersebut, pembantu kanan Mu’awiyyah, ‘Amr Ibn
Al-‘As yang terkenal sebagai orang licik, meminta berdamai dengan mengangkat
al-Quran ke atas. Qurra yang ada di pihak Saidina Ali mendesak Saidina Ali
supaya menerima tawaran itu, dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan
mengadakan pengantara (arbitrasi). Sebagai pengantara dilantik dua orang,
iaitu: ‘Amr Ibn Al-‘As di pihak Mu’awiyyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak
Ali. Kesimpulan dari arbitrasi tersebut merugikan pihak Ali dan menguntungkan
pihak Mu’awiyyah, lalu Mu’awiyyah dengan sendirinya dianggap menjadi khalifah
tidak rasmi.
Sebagian dari pengikut Ali tidak setuju dengan pengantara
(arbitrasi) tersebut, dan karena itu mereka meninggalkan barisan Saidina Ali.
Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenal dengan nama Khawarij.
Dengan demikian, gambaran dari persoalan-persoalan politik inilah akhirnya
membawa kepada timbulnya persoalan teologi.
Golongan Khawarij ini memandang bahawa Saidina Ali, Mu’awiyyah, ‘Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrasi itu adalah kafir, karena mereka semuanya tidak kembali menetapkan hukum kepada al-Quran seperti yang dimaksudkan oleh firman Allah dalam surah al-Maidah, 5: 44:
Golongan Khawarij ini memandang bahawa Saidina Ali, Mu’awiyyah, ‘Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrasi itu adalah kafir, karena mereka semuanya tidak kembali menetapkan hukum kepada al-Quran seperti yang dimaksudkan oleh firman Allah dalam surah al-Maidah, 5: 44:
Artinya:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir.”
Dari ayat inilah mereka mengambil
semboyan la hukma illa lillah karena keempat tempat pemuka Islam di atas telah
dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam, yaitu murtad.
Mereka mesti dibunuh. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang
melakukan dosa besar, yaitu murtakib al-kabair. Persoalannya ialah, masihkah
dia mukmin ataukah dia menjadi kafir, kerana melakukan dosa besar? Dengan
demikian, dari persoalan inilah menimbulkan akhirnya lahir aliran-aliran baru
ilmu al-kalam di samping Khawarij. Aliran-alirannya adalah Murjiah, Mu’tazilah,
Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.
PEMBAHASAN
PERBANDINGAN DAN ANALISA KONSEP IMAN DAN KUFUR
Agenda persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi islam
adalah masalah iman dan kufur. Persoalan itu dimunculkan pertama kali oleh kaum
khawarij tatkala mencap kafir sejumlah tokoh sahabat
nabi SAW yang dipandang telah berbuat dosa besar, antara lain ali bin abi
thalib, mu’awiyyah bin abi sufyan,abu musa al-asy’ari,amr bin al-ash,thalha bin
ubaidillah, zuber bin awwan, dan aisyah,istri rasulullah SAW.¹masalah ini lalu
dikembangkan oleh khawarij dengan
tesis utamanya bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir.
Pernyataan teologis itu selanjutnya bergulir menjadi bahan
perbincangan dalam setiap diskursus aliran-aliran teologis islam yang tumbuh
kemudian, termasuk aliran teologi islam yang tumbuh kemudian, termasuk aliran Murji’ah. Aliran lainnya, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah
turut ambil bagian dalam polemic tersebut.malah tak jarang di dalam tiap-tiap
aliran tersebut terdapat perbedaaan pandangan di antara sesame pengikutnya.
Perbincangan konsep iman dan kufur menurut tiap-tiap aliran teologi
islam, seperti yang terlihat dari berbagai literatur ilmu kalam, acapkali lebih
dititikberatkan pada satu aspek saja dari dua term, yaitu iman atau kufur. Ini
dapat dipahami sebab kesimpulan tentang konsep iman bila dilihat kebalikannya
juga berarti kesimpulan tentang konsep kufur.
Menurut Hassan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya
dipergunakan oleh para teolog muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu :
- marifah bi al-aql, (mengetahui dengan akal)
- amal,
perbuatan baik atau patuh
- iqrar, pengakuan secara lisan, dan
- tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula
didalamny amarifah bi al-qalb
(mengetahui dengan hati).
Keempat istilah kunci di atas misalnya terdapat dalam hadis Nabi
SAW. Yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri:
من
رأى منكم منكرا فليغيره بيده فا ن لم يستطع فبلسانه فا ن لم يستطع فبقلبه وذالك
اضعف الأيما ن
Artinya:”barag siapa diantara kalian yang
melihat (marifah) kemunkaran, hendaklah mengambil tindakan secara fisik. Jika
engkau tidak kuasa, lakukanlah dengan ucapanmu. Jika itupun tidak mampu,
lakukanlah dengan kalbumu. (Akan tetapi yang terakhir )ini merupakan iman yang
paling lemah”. (H.R. Muslim)[1]
KONSEP KEIMANAN
Para Mutakallimin dalam
golongan ahlus sunnah wal
jama’ah secara umum merumuskan unsur-unsur iman terdiri dari al-tasdiq bi al-qalb; al-iqrar bi
al-lisan; dan al-‘amal bi al-jawarih. Ada yang berpendapat unsur ketiga
dengan istilah yang lain: al-‘amal bi al-arkan yang membawa maksud melaksanakan
rukun-rukun Islam. Perbedaan dan persamaan pendapat para mutakallimin dalam
konsep iman nampaknya berkisar di sekitar unsur tersebut. Jika dilihat dari
asal bahasa kata iman berasal dari bahasa arab yang berarti membenarkan, dan
dalam bahasa Indonesia kata iman berarti percaya yaitu sebuah kepercayaan dalam
hati dan membenarkan bahwa adanya Allah SWT itu benar-benar ada serta
membenarkan dan mengamalkan semua yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan
mempercayai Rasul-Rasul sebelumnya.[2] Apakah hanya sebatas rosul. Maka Iman adalah mempercayai
dan membenarkan terhadap adanya Allah,para Malaikat,kitab-kitab-Nya ,para
Rasul-Nya,Hari Akhir dan takdir baik maupun buruk ,manis maupun pahit dan bahwa
kesemuanya itu berasal dari Allah. Seperti hadits nabi
ان تؤ من با الله وملا ئكته
ورسله واليوم الآخر وتؤمن با اقدر خيره وشره
Artinya:Hendaknya engkau beriman kepada Allah
,para malaikat-Nya,Kitab-kitab-Nya,Para Rasul-Nya,Hari Akhir dan hendaknya engkau
juga beriman kepada Taqdir,baik maupun buruk. [3]
Adapun menurut syara’ iman berarti :
1. Membenarkan [4]
Allah berfirman : “ dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur’an)
yang diturunkan kepada (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan
sebelum engkau, dan mereka yakin tentang
aanya hari akhirat.” (QS. Al-Baqarah:4)
Membenarkan dan yakin adalah dua perbuatan dari sekian banyak perbuatan
hati. Diantara ulama’ ada yang mendefinisikan iman sebagai ucapan dan
perbuatan, dan ini dinamakan ucapan hati.[5]
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa
makna dalam hati ini adalah satu-satunya makna iman. [6]
2. Mengumumkan lewat ucapan[7]
Allah berfirman: “ Ktakanlah: ‘Kami beriman
kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa
yang diturunkan kepada Ibrahim, Ishaq,
Ya’qub dan anak cucunya, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa
serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan
seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya. (QS>
Al-BAqarah:136)
Rasulullah bersabda: “ Aku diperintah agar
memerangi manusia hingga mereka berkata Tiada Tuhan selain Allah.”[8]
Nash-nash syara’ di atas menunjukkan bahwa
iman merupakan ucapan, telah dimaklumi bersama bahwa kafir tidak dianggap islam
kecuali bila ia mengucapkan dua kalimah syahadad , kecuali bila ia bisu maka ia
dianggap islam dengan adanya tanda-tanda yang menunjukkan keimanannya.[9]
3. Dalam Al-Kitab dan As-Sunnah disebutkan bahwa iman mempunyai makna
perbuatan.[10]
Allah berfirman: “ Dan kemudian pula Kami
telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu. Kami tidak menjadikan kitab-kitab (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya,
melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang
berbalik kebelakang. Sungguh (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi
orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah.
Dan Allah tidak akan meyia-nyiakan imanmu. Sungguh Allah Maha Pengasih,
Maha Penyayang kepada manusia.”
(QS.
Al-Baqarah:143)
Nabi Muhammad bersabda: “Orang mukmin yang
paling mul;ia imannya adalah orang yang paling baik budi pekartinya.”
Budi
pekerti merupakan perbuatan.[11]
Iman merupakan inti dasar dari sebuah
peribadatan, tanpa adanya keimanan sangat mustahil seseorang dapat membenarkan
adanya Tuhan.[12]
Dalam pembahasan ilmu kalam konsep iman
terbagi menjadi tiga golongan yaitu :
1)
Iman adalah Tasdiq dalam hati atas wujud
Allah dan keberadaan Nabi atau Rasul Allah. Menurut konsep ini iman dan kufur
semata-mata adalah urusan hati, bukan Nampak dari luar. Jika seseorang
membenarkan atau meyakini adanya Allah maka ia dapat disebut teklah beriman
kepada Allah meskipun perbuatannya tidak sesuai dengan ajaran agama islam.
Konsep iman ini banyak dianut oleh mazhab
murjiah yang sebagian besar penganutnya adalah Jahamiyah dan sebagian kecil
Asy’ariyah. Menurut paham diatas bahwa keimanan seseorang tidak ada sangkut pautnya
dengan perbuatan atau amaliyah-amaliyah zahir, dikarenakan hati adalah sesuatu
yang tersembunyi sehingga tidak dapat disangkut pautkan dengan keadaan yang
zhahir. [13]
2)
Iman adalah Tasdiq di dalam hati dan
diikrarkan dengan lidah. Dengan demikian seseorang dapat digolongkan beriman
apabila mempercayai dalam hati keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) dengan lidah. Disini antara
keimanan dan perbuatan manusia tidak ada hubungannya. Yang terpenting dalam
iman adalah Tasdiq dalam hati dan diikrarkan dengan lisan konsep ini dianut
oleh sebagian pengikut Mahmudiyah[14]
3)
Iman adalah Tasdiq dalam hati dan
diikrarkan dengan lisan serta dibuktikan dengan perbuatan. Disini diterangkan
bahwa antara iman dan perbuatan Terdapat keterkaitan karena keimanan seseorang
ditentukan pula oleh amal perbuatannya konsep iman ini dianut oleh Mu’tazilah dan Khawarij.[15]
KONSEP KEKUFURAN
Kufur secara lughat (bahasa)
kata kufur berasal dari bahasa Arab yang bermakna ingkar. Kufur dalam banyak
pengertian sering diantagoniskan sebagai kedaan yang bertolak belakang dengan
iman. Adapun yang dimaksud kufur dalam pembahasan ini adalah keadaan tidak percaya/tidak
beriman kapada Allah SWT. Maka orang yang kufur/kafir adalah orang yang tidak
percaya/tidak beriman kepada Allah baik orang tersebut bertuhan selain Allah
maupun tidak bertuhan, seperti paham komunis (ateis). Kufur ialah mengingkari
Tauhid, Kenabian, Ma'ad, atau ragu terhadap kejadiannya, atau mengingkari pesan
dan hukum para nabi yang sudah diketahui kedatangannya dari sisi Allah SWT.
Ciri dari kekufuran adalah mengingkari secara terang-terangan terhadap suatu
hukum Allah SWT yang mereka tahu tentang kebenarannya dan mereka memiliki tekad
untuk memerangi agama yang hak. Dari sinilah syirik (mengingkari tauhid)
termasuk salah satu ciri konkret dari kekufuran.
Oleh karena itu orang-orang kufur/kafir sangatlah dimurkai oleh Allah SWT karena mereka tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah. Adapun kufur/kafir sangatlah erat kaitannya atau hubungannya dengan keadaan-keadaan yang menyesatkan seperti syirik, nifak, murtad, tidak mau bersyukur kepada Allah SWT, dan lain sebagainya. (menurut saya, kata nifak dan tidak syukur nikmat, tidak bisa di golongkankan/tidak sejalan denga konsep kufur dalam definisi kufur yang telah anda ungkapkan di atas, karena orang yang nifak dan orang yang tidak bersyukur kepad Allah, tetap tergolong muslim dan tidak dapat di golongkan dalam golongan kufur atau musyrik ).
Oleh karena itu orang-orang kufur/kafir sangatlah dimurkai oleh Allah SWT karena mereka tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah. Adapun kufur/kafir sangatlah erat kaitannya atau hubungannya dengan keadaan-keadaan yang menyesatkan seperti syirik, nifak, murtad, tidak mau bersyukur kepada Allah SWT, dan lain sebagainya. (menurut saya, kata nifak dan tidak syukur nikmat, tidak bisa di golongkankan/tidak sejalan denga konsep kufur dalam definisi kufur yang telah anda ungkapkan di atas, karena orang yang nifak dan orang yang tidak bersyukur kepad Allah, tetap tergolong muslim dan tidak dapat di golongkan dalam golongan kufur atau musyrik ).
KONSEP KUFUR DAN KEDUDUKAN PELAKU
DOSA BESAR MENURUT PARA MUTAKALLIMIN
Ada hadist-hadist yang mengatakan bahwa dosa besar selain syirik ialah: (Seharusnya
Hadistnya Di Tulis)
a) Zina
b) Sihir
c) Membunuh manusia tanpa
sebab yang dibolehkan Allah
d) Memakan harta anak
yatim piatu
e) Riba
f) Meninggalkan medan perang
g) Memfitnah perempuan
yang baik-baik
Bagi golongan Ibadiah,
orang yang melakukan dosa besar termasuk dalam arti yang pertama, yaitu mereka
masih tetap muwahhidun, sah syahadatnya, boleh nikah dan waris mewarisi, bahkan
yang terpenting haram darah mereka, artinya tidak diperangi.
Nampaknya pendapat Ibadiah ini lebih sederhana dari Azariqah.
Nampaknya pendapat Ibadiah ini lebih sederhana dari Azariqah.
Bagi Azariqah, orang yang tidak
masuk golongan mereka boleh diperangi, karena bukan daerah Islam tetapi adalah
dar al-harb atau dar al-kufr, darah mereka adalah halal. Yang dianggap dar
al-Islam bagi mereka hanyalah orang yang termasuk wilayah atau golongan mereka
saja. Menurut al-Bazdawi, konsep Khawarij
mengatakan bahwa orang yang meninggal dunia dalam keadaan berdosa besar dan
berdosa kecil yang tidak bertaubat akan kekal dalam neraka.
Bagi kaum Murjiah secara umumnya berpendapat bahwa soal kufur dan tidak
kufur adalah lebih baik ditunda saja sampai ke Hari Pengadilan Tuhan di akhirat
kelak. sebab itu, kaum Murjiah tetap menganggap sahabat-sahabat yang terlibat
dengan arbitrase adalah orang-orang yang dipercayai dan tidak keluar dari jalan
yang benar. Tetapi ada juga di kalangan cabang Murjiah yang mempersoalkan
tentang soal kufur seperti Muhammad
Ibn Karran. Menurutnya, orang-orang yang tidak mengucap dua kalimat
syahadat, serta orang yang mendustakan dan mengingkari adanya Allah dengan
perkataan bukan dengan perbuatan adalah kafir.
Argumentasi Murjiah, ialah bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar
masih mengucap dua kalimat syahadat dan Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya, orang
seperti ini masih mukmin bukan kafir atau musyrik. Dalam dunia ini ia tetap
dianggap mukmin bukan kafir. Soalnya di akhirat diserahkan kepada keputusan
Tuhan, kalau dosa besar diampunkan, ia segera masuk syurga, kalau tidak akan
masuk neraka untuk waktu yang sesuai dengan dosa yang dilakukan dan kemudian
masuk surga. { Dalil yg dignakan yaitu hadits nabi:
يخرج من النار من كا ن فى قلبه مثقل ذرة من ايمان
Artinya:Akan
keluar dari Naar orang yang didalam hatinya masih terdapat meskipun sebiji dzarrah keimanan .(H.R Bukhori Muslim)
Dalam hadits diatas
Nabi tidak menghususkan hal itu bagi umatnya saja ,dan Ucapan beliau Meskipun mereka belum bertaubat.
Dan ucapan beliau :”Mereka diserahkan kepada kehendak dan keputusan Allah .Kalu Dia menghendaki
,mereka dapat diampuni dan dimaafkan dosa-dosa mereka dengan ke utamaan-Nya….”[16]
Kalau patuh dan taat terhadap yang wajib dan sunah disebut iman, ini bukan
berarti kalau tidak melakukan yang wajib dan sunah langsung menjadi kufur.
Menurut Hisyam al-Fathi, salah seorang pemuka Mu’tazilah, menyebut keadaan
seperti itu dengan
contoh tentang orang yang melaksanakan shalat dan berzakat. Menunaikan shalat dan zakat disebut realisasi iman, maka orang yang melakukan keduanya disebut mukmin, tetapi kalau shalat dan zakat tidak ditunaikan, orang tersebut tidak boleh pula disebut kafir. Untuk orang yang tidak melaksanakan yang wajib seperti shalat dan zakat serta lainnya diistilahkan sebagai fasiq saja. Sedangkan pendapat Ibad Ibn Sulaiman, dari kalangan pemuka Mu’tazilah juga, agak sederhana dari pendapat terdahulu, ia berpendapat iman adalah kepatuhan kepada yang wajib bukan sunah. Seseorang yang tidak beriman kepada Allah disebut kafir millah, yaitu kafir agama.
contoh tentang orang yang melaksanakan shalat dan berzakat. Menunaikan shalat dan zakat disebut realisasi iman, maka orang yang melakukan keduanya disebut mukmin, tetapi kalau shalat dan zakat tidak ditunaikan, orang tersebut tidak boleh pula disebut kafir. Untuk orang yang tidak melaksanakan yang wajib seperti shalat dan zakat serta lainnya diistilahkan sebagai fasiq saja. Sedangkan pendapat Ibad Ibn Sulaiman, dari kalangan pemuka Mu’tazilah juga, agak sederhana dari pendapat terdahulu, ia berpendapat iman adalah kepatuhan kepada yang wajib bukan sunah. Seseorang yang tidak beriman kepada Allah disebut kafir millah, yaitu kafir agama.
Dari pendapat pemuka Mu’tazilah, dapat disimpulkan bahawa kufur adalah
tidak mengucap dua kalimat syahadat dengan iringan keyakinan penuh; dan fusuq
adalah perbuatan dosa besar, serta iman adalah pengakuan dengan hati yang
dinyatakan dengan lisan dan melaksanakan perintah-perintah Allah serta menjauhi
dosa besar. Menurut al-Asy’ari sendiri, iman ialah pengakuan dalam hati tentang
ke-Esaan Allah dan tentang kebenaran Rasul-Rasul serta segala apa yang mereka
bawa, mengucapkannya dengan lidah dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan
cabang iman. Dengan demikian, untuk menjadi mukmin, cukup dengan pengakuan
dalam hati tentang dua kalimah syahadah serta membenarkan apa yang dibawa oleh
Rasul.
Dengan itu, tentulah yang disebut kufur ialah orang yang tidak membuat
pengakuan atau membenarkan tentang ke-Esaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul
serta segala yang mereka bawa. Menurut Asy’ariyyah seorang muslim yang berdosa
besar jika meninggal dunia tanpa bertaubat, nasibnya terserah kepada ketentuan
Tuhan, mungkin orang itu diampuni Allah karenarahmat dan kasih sayang-Nya. Ada
kemungkinan juga tidak akan diampuni Allah dosa-dosanya dan akan diazab sesuai
dengan dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukkan ke dalam
syurga, kerana ia tidak mungkin akan kekal tinggal dalam neraka. Ringkasan dari
uraian ini dapat disimpulkan menurut Asy’ariyyah orang-orang yang berdosa besar
bukanlah kafir, dan tidak akan kekal dalam neraka. Orang demikian adalah mukmin
dan akhirnya akan masuk syurga. Selanjutnya bagi Maturidiyyah, orang yang
berdosa kecil, dosa-dosa kecilnya akan dihapus oleh kebaikan salat dan
kewajipan-kewajipan lain yang dijalankan. Pendapat ini didasarkan kepada firman
Allah surah Hud, 11: 114:44
Artinya:
“Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu mengahapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang jahat. Itulah peringatan bagi orangorang yang ingat.”
Artinya:
“Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu mengahapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang jahat. Itulah peringatan bagi orangorang yang ingat.”
KHAWARIJ
a. Konsep iman
Khawarij mengatakan pengertian iman itu ialah, beriktikad dalam
hati dan berikrar dengan lidah serta menjauhkan diri dari segala dosa. Khawarij
cabang al-Azariqah, sangat kuat berpegang kepada nas (teks) al-Quran.
Menurutnya bahwa iman yang sempurna itu, adalah iman orang yang benar-benar
dapat menyesuaikan dan menyatukan perkataan dan perbuatan. Iman adalah qaul wa
amal. Bagi kaum Khawarij amal merupakan suatu kemestian, yang mesti ditunaikan,
karena amal adalah bergandengan dengan pengakuan atau al-tasdiq. Pemahaman iman
dan amal Khawarij disepakati pula oleh Mu’tazilah, kecuali dalam hal-hal
menjauhkan diri dari dosa.
Khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya yaitu dosa besar
agar dengan demikian orang islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat
diperangi dan dapat dirampas harta bendanya dengan dalih mereka berdosa dan
setiap yang berdosa adalah kafir. Mengkafirkan Ali, Utsman, 2 orang hakam,
orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal dan orang-oranng yang rela
terhadap tahkim dan mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar dan wajib
berontak terhadap penguasa yang menyeleweng.
Iman menurut Khawarij,iman bukanlah tasdiq dan iman dalam arti
mengetahui pun belumlah cukup. Menurut Abd.Al-Jabbar orang yang tahu Tuhan
tetapi melawan kepadaNya, bukanlah orang yang mukmin dengan demikian iman
bukanlah tasdiq bukanlah ma’rifah tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari
mengetahui Tuhan tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah
Tuhan.Sehingga mereka berpendapat bahwa iman itu
bukan pengakuan dakam hati dan ucapan dengan lisan saja ,tetapi amal ibadah
menjadi rukun iman pula.[17]
b. Konsep Kufur
Menurut mayoritas pemuka Khawarij, berpendapat bahawa semua dosa
besar adalah kufur, orang yang melakukan dosa besar itu dihukum kafir dan kekal
di dalam neraka. Pendapat ini diutarakan oleh golongan cabang al-Muhakkimah
yang paling awal dalam Khawarij. Khawarij cabang Azariqah lebih ekstrim dari golongan pertama.
Mereka menghukum sebagai syirik bagi orang yang melakukan dosa besar. Di dalam
Islam syirik lebih besar dari kufur, bahkan lebih jauh dari itu bagi golongan
Azariqah menyatakan bahwa yang menjadi musyrik bukan hanya orang Islam yang
melakukan dosa besar saja, tetapi juga semua orang Islam yang tidak sepaham
dengan mereka.
Subsekte Najdah tak jauh berbeda dari Azariqah. Kalau Azariqah
memberikan predikat musyrik kepada umat islam yang tidak mau bergabungdebgab
kelompok mereka, Najdah punmemberikan predikat yang sama kepada siapapun dari
umat islam yang secara berkesinambungan mengerjakan dosa kecil. Akan halnya
dengan dosa besar, bila tidak di lakukan dengan kontinu, pelakunya tidak di
pandang musyrik. Tetapi kafir. Namun, jika pelakunya malaksanakan
terus-menerus, ia akan menjadi musyrik.
Lain halnya dengan subsekte khawarij yang sangat moderat, yaitu
ibadiyah. Subsekte ini memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar tetap
sebagai muwahhid (yang mengesakan tuhan), tetapi bukan mukmin. Pendeknya, ia
tetap disebut kafir tetapi hanya merupakan kafir nikmat dan bukan kafir
milah(agama). Siksaan yang bakal mereka terima di akhirat nanti adalah kekal di
dalam neraka bersama orang-orang kafir lainnya.
Kaum khawarij juga
berpendapat ,Barang siapa yang tidak mengerjakan sembahyang,puasa ,zakat dan
lain –lain maka orang itu kafir.Pendeknya bagi kaum khawarij, sekalian orang
mukmin yang berbuat dosa baik dosa besar maupun kecil ,maka orang itu
kafir,wajib diperangi dan boleh dibunuh,boleh dirampas hartanya.Oleh karena
sayyidina Muawiyah sudah membuat dosa dengan melawan kepda khalifah yang sah
yaitu sayyidina Ali, maka kaum khawarij men cap Syayyidina Muawiyah dan
pengikutnya dengan kafir dan wajib diperangi.Siti Aisyah r,a, karena melawan
khalifah Ali adalah kafir ,[18]
Berikut ini diantara penafsiran yang dilakukan al-Khawarij terhadap
ayat-ayat al-Qur’an yang bertujuan untuk menyokong dan menguatkan eksistensi
sekte mereka, adapun contoh tersebut sebagai berikut :
1.
Ayat yang melegitimasi dalam memvonis Kafir terhadap setiap pelaku dosa
besar, yaitu dalam surat Ali Imran ayat 97 :
Artinya :
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi
orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah,
barangsiapa mengingkari kewajiban haji, sesungguhnya Allah maha
kaya
dari semesta alam
Ayat ini mereka simpulkan bahwa orang yang meninggalkan kewajiban
haji masuk kepada kategori kafir
2.
Firman Allah swt dalam Surat al-Ma’idah ayat 44 :
Artinya :
Barang siapa Yang tidak menghukum menurut apa yang telah diturunkan
oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.
Menurut al-Khawarij, bahwa setiap pelaku dosa/pekerja maksiat, tapa
mempermasalahkan tinggkat syariknya, maka tetap dia menjadi
”kafir”,
karena mereka telah menyimpang dari wahyu Allah swt. Al-khawarij
juga
menghukum para pelaku maksiat tersebut sesuai yang tertulis dalam
nash
al-Qur’an tersebut.
3.
Firman Allah swt surat al-Taghabun ayat 2 :
Artinya :
Dia lah Yang menciptakan kamu; maka diantara kamu ada yang kafir
dan
ada diantara kamu yang beriman; dan Allah Maha melihat apa Yang
kamu kerjakan
Mereka menyimpulkan dari makna zahir ayat ini, menurut mereka tidak
ada kategorisasi fasiq. Menurut al-khawarij manusia terbagi kepada
dua
kategori saja yaitu mkmin dan kafir. Manusia berada pada posisi
iman dan
kafir, maka oleh karena tidak kategori lain kecuali mukmin dan kafir,
mereka mengatakan bahwa orang yang tidak beriman, otomatis menjadi
kafir, sementara fasiq tidak berada dalam kategori mukmin, maka
tetap
menjadi golongan kafir.
4.
Firman Allah Swt dalam Surat Ali Imran ayat 106 :
Artinya :
Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada
pula
muka yang menjadi hitam muram. adapun orang-orang yang telah hitam
muram mukanya, (kepada mereka dikatakan): "kenapa kamu kafir
sesudah
kamu beriman? Karena itu rasakan azab disebabkan kekafiran kamu
itu".
Al-Khawarij mengatakan :“Orang Fasiq tidak termasuk kepada yang
putih
wajahnya, dan sudah pasti termasuk yang hitam wajahnya dan wajib
dihukum kafir”
5.
Firman Allah Swt dalam Surat al-Sajadah ayat 20 :
Artinya :
Dan adapun orang-orang yang fasik, maka tempat mereka ialah neraka;
setiap kali mereka hendak keluar dari padanya, mereka dikembalikan
kedalamnya, dan dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah siksa neraka
Yang dahulu kamu mendustakannya".
Berdasarkan ayat ini al-Khawarij menjadikan seseorang itu termasuk
golongan pendusta. Demikian beberapa ayat-ayat al-Qur’an,.
Dijadikan al-
Khawarij untuk mengklaim para pelaku dosa besar sebagai ”kafir”
Setelah menganalisa penafsiran ayat tersebut, setelah itu kita coba
membandingkan nya dengan ahlu sunnah wa al-Jama’ah, maka sangat
kelihatan sekali keanehan dan keganjilan penafsiran al-Khawarij
tersebut.
Berdasarkan itu dapat kita katakan bahwa penafsiran al-Khawarij
sangat
jauh dari kaedah penafsiran yang sebenarnya, dan fenomena
menyimpang
ini dapat menimbulkan pertentangan dan konflik dikalangan umat
Islam
Diantara
keganjilan-keganjilan itu yang bertentangan dengan faham Ahlu Sunnah Waljamaah
yaitu:
Masalah iman ,Kaum Ahlu Sunah
Waljamaah berpendirian bahwa rukun iman itu hanyalah dua,yaitun membenarkan
dalam hati dan mengikrarkan dengan lisan . Seseorang kalu sudah membenarkan
dalam hatinya bahwa Tuhan itu ada dan tunggal,bahwa nabi Muhammad itu Rasul-Nya,sesudah
itu diucapkannya dengan lisan mmaka orang itu sudah muslim dan mu’min dan
berlaku baginya sekalian hokum yang bertaliaan dengan orang mu’min.Mereka hanya
diminta dengan mengucapkan Syahadatain.Adapun amal ibadat,seumpama sembahyang
,puasa ,zakat dan lain-lain maka itu untuk kesempurnaan iman .Orang yang
sembahyang dan mengerjakan amal ibadah sebaik-baiknya maka orang itu adalah
orang mukmin yang sempurna.
Masalah Kafir, bagi Ahlus
Sunnah adalah orang-orang yang
mengi’tiqadkan bahwa sembahyang itu tidak wajib baginya ,bahwa puasa tidak
wajib baginya,bahwa mencuri baginya,bahwa zina halal baginya ,Orang yang
semacam ini dihukum kafir karena ia menghalalkan yang sudah diharamkan Tuhan[19]
Nafi,I bin azraq,yang
digelari Amirul Mu’minin oleh kaum Khawarij menyatakan bahwa yang menjadi musyrik/kafir bukan hanya orang Islam yang melakukan dosa besar
saja, tetapi juga semua orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka,maka hala darahnya,hartanya
dan anak isterinya.Pdndapat ini berbeda dengan Ahlus Sunnah,mereka tidak
lekas-lekas mengkafirkan orang lain walupun menentang pendapatnya,karena
kalimat “kafir” sangat berbahaya ,karena
dapat menentukan kecelakaan manusia yag abadi dunia akhirat.sebagaimana hadits
nabi:
ايما رجل قال لأخييه يا كا فر فقد باء بها احدهما
Artinya:Apabila seorang berkata kepada saudaranya “Hai
Kafir”maka tetaplah hal itu bagi salah seorangnya.(H,R.Bukhari Muslim )
Maksud hadits diatas
adalah,kalau benar yang ditujunya itu orang kafir,pada sisi Tuhan maka benarlah
ucapannya,tapi kalau yang dikafirkan itu orang islam maka kalimat kafir itu
kembali pada yang mengatakannya.[20]
MURJI’AH
Berdasarkan pandangan mereka tentang iman itu sendiri,Abu Hasan
Al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi murji’ah menjadi 12 subsekte:Al-Jahwiyah,Ash-Salihiyah,Al-Yunusiyah,Asy-Syimriyah,As-Saubaniyah,An-Najjariyah,Al-Kailaniyahbin
Syabib dan pengikutnya,Abu Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniyah,Al-Marrisyah,
dan Al-Krraniyah Sedangkan, Harun
Nasution dan Abu Zahra Karramiyah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok
utama,yaitu Murji’ah Moderat(Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah Ekstrim(Murji’ah
Bid’ah).Diantara kalangan Murji’ah yang berpendapat senada adalah Subsekte Al-Jahmiyah,As-Salihiyah,dan
Al-Yunusiyah. Mereka yang berpendapan bahwa iman adalah tashdiq
secara kalbu saja,atau ma’rifah( mengetahui) Allah dengan kalbu,bukan
secara demokratif,baik secara ucapan maupum tingkah laku.
Kelompok Murji’ah ekstrim yang terkenal adalah “perbuatan
tidak dapat menggugurkan keimanan,sebagaimana ketaatan pun tidak dapat membawa
kekufuran.” Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini memandang bahwa pelaku dosa
besar tidak akan mdisiksa di neraka.
Sedangkan kelompok Murji’ah Moderat berpendapat bahwa pelaku
dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun mereka disiksa di neraka. Ia tidak
kekal didalamnya.tergantung pada dosa yang pernah dilakukannya. Meskipun
demikian,masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga
bebas dari siksaan neraka. Ciri khas dari kelompok murji’ah lainnya adalah
dimasukkannya iqrar sebagai bagian penting dari iman dan tashdiq
(ma’rifah).
Satu hal yang patut dicatat oleh seluruh subsekte Murji’ah yang
disebutkan oleh Al- Asy’ari, kecuali As-Saubaniyah ,At-Tuminiyah,Al-Karramiyah
berpendapat bahwa yang dimaksud ma’rifah adalah cinta kepada Tuhan dan
tunduk kepada-Nya.
MU’TAZILAH
Mu’tazilah mengatakan pengertian iman itu ialah, beriktikad dalam hati dan berikrar
dengan lidah serta menjauhkan diri dari segala dosa. Dalam hal ini yang mereka
maksud adalah hanya menjauhkan diri dari dosa besar saja. Mu’tazilah tidak
menentukan status dan predikat yang pasti
bagi pelaku dosa besar. Apakah tetap mukmin atau telah kafir, kecuali
dengan sebutan yang sangat terkenal al-munzilah bain al-manzalatain. Setiap pelaku dosa besar menurut Mu’tazilah
menempati posisi tengah diantara posisi mukmin dan posisi kafir.[21] Tidak
boleh disebut mukmin, walaupun dalam dirinya ada iman, kerana pengakuan dan
ucapan dua kalimat syahadatnya, dan tidak pula disebut kufur, walaupun ‘amal
perbuatan dianggap dosa, kerana ia tidak mempengaruhi imannya Bagi mereka,
orang yang menyebutnya sebagai mukmin atau kafir adalah orang yang tidak
mempunyai landasan berfikir. [22]
Dalam perkembangannya kemudian, beberapa
tokoh mu’tazilah seperti Washil Bin Atha dan Amr Bin Ubaid memperjelas sebutan
itu dengan sebutan fasik yang bukan mukmin dan bukan kafir, melainkan sebagai
kategori netral dan independent. [23]
Seluruh
pemikir mu’tazilah sepakat bahwa amal
perbuatan merupakan salah satu unsure terpenting dalam konsep iman, bahkan
hampir mengidentikkannya dengan iman.[24]
Washil Ibnu Atha mengemukakan alasan bahwa
iman tediri dari unsure-unsur kebaikan. Apabila semuannya lengkap dinamakan
orang beriman yang terpuji. Sebaliknya orang munafik adalah unsure imannya
kurang. Ia tidak dapat dikatakan orang celaka yang kafir. Karena itu
persaksiannya dapat dipungkiri Namun
apabila ia meninggal sedang ia telah melakukan dosa besar dan tidak bertobat,
maka ia temasuk penghuni neraka yang kekal. Karena di hari akhir itu hanya ada
dua kelompok, penghuni neraka dan penghuni surga. Namun siksa yang dikenakan
kepadanya lebih ringan dari siksa yang diderita orang kafir.[25]
“Allah SWT akan memenuhi janji dan ancaman- Nya,
karena Dia Maha Terpercaya, dan tidak akan merubah keputusan-Nya, karena Allah
tidak mengampuni pelaku dosa kecuali setelah dia bertobat.”[26]
Ini mudah dimengerti bahwa konsep mereka
tentang amal_ sebagai bagian penting keimanan_ memiliki keterikatan langsung
dengan masalah al-wa’d wa al wa’id (
janji dan ancaman ) yang merupakan salah satu dari pancasila Mu’tazilah. [27]
Aspek penting lainnya dalam konsep mu’tazilah
tentang iman adalah apa yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah ( pengetahuan dan akal ). Ma’rifah menjadi unsur yang tak kalahpenting dari iman
karena pandangan mu’tazilah yang bercorak rasional. Ma’rifah sebagai unsure
pokok yang rasional dari iman berimplikasi pada setiap penolakan keimanan
berdasarkan otoritas yang lain ( al-iman
bi at-taqlid ).[28] Disini terlihat bahwa mu’tazilah sangat menekankan pentingnya
pemikiran logis atau penggunaan akal dan segala kewajiban dapat diketahui dengan
pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, menurut mereka, iman seorang dapat
dikatan benar apabila didasarkan pada akal bukan karena taqlid kepada orang
lain.[29]
Pandangan
mu’tazilah seperti ini, menurut
Toshihiko Izutsu, pakar teologi Islam dari Jepang, sangat sarat dengan
konsekuensidan omplikasi yang cukup fatal. Hal ini karena hanya para mutakallim
( teolog ) saja yang benar-benar dapat menjadi orng yang beriman, sedangkan
masyarakat awam yang mencapai jumlah mayoritas tidak dipandang sebagai orang
yang benar-benar beriman ( mukmin ).[30]
Mengenai perbuatan
apa yang mereka kategorikan sebagai dosa besar, mereka agaknya merumuskan
secara lebih konseptual ketimbang aliran khawarij. Yang dimaksud dengan dosa
besar menurut mereka adalah segala perbuatan yang seluruh ancamannya disebutkan
secara tegas didalam nas, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala
ketidakpatuhan yang ancamannya tidak disebutkan secara tegas didalam nas.
Tampaknya kelimpok ini menjadikan ancaman sebagai criteria dasar bagi dosa
besar maupun dosa kecil. Sedangkan dalam
konsep kebaikan dan keburukan mereka berpendapat bahwa perbuatan baik adalah
sesuatu yang disepakati kebaikannya oleh orang banyak, dan perbuatan buruk
adalah sesuatu yang bertentangan dengan kesepakatan mereka ( orang banyak ). [31]
Masalah fluktuasi
iman, yang merupakan persoalan teologi yang diwariskan oleh aliran murji’ah
disinggung pula oleh mu’tazilah. Aliran ini berpendapat bahwa manakala
seseorang meningkatkan dan melaksanakan amal kebaikannya, imannya semakin
bertambah. Setiap kali ia berbuat maksiat, imannya semakin berkurang. Kenyataan
ini dapat dipahami mengingat mu’tazilah,
seperti khawarij memAsukkan unsure amal sebagai unsure penting dari iman (al amal juz’tun min al-iman).[32]
Sedangkan dalam hal kekafiran, Menurut mayoritas Mu’tazilah, orang yang
tidak patuh terhadap yang wajib dan yang sunat disebut ma’asi. Ma’asi terbahagi
kepada dua, iaitu pertama, ma’asi kecil dan kedua ma’asi yang besar. Ma’asi
yang besar dinamakan kufur.Ma’asi yang besar, yang membawa kepada kufur ada
tiga yaitu::[33]
1) Seseorang yang menyamakan Allah dengan makhluk.
2) Seseorang yang menganggap Allah tidak adil atau zalim.
3) Seseorang yang menolak eksistensi Nabi Muhammad yang menurut nas
telah disepakati kaum muslimin.[34]
telah disepakati kaum muslimin.[34]
Kalau patuh dan taat
terhadap yang wajib dan sunah disebut iman, ini bukan berarti kalau tidak
melakukan yang wajib dan sunah langsung menjadi kufur. Menurut Hisyam al-Fathi,
salah seorang pemuka Mu’tazilah, menyebut keadaan seperti itu dengan
contoh tentang orang yang melaksanakan shalat dan berzakat. Menunaikan shalat dan zakat disebut realisasi iman, maka orang yang melakukan keduanya disebut mukmin, tetapi kalau shalat dan zakat tidak ditunaikan, orang tersebut tidak boleh pula disebut kafir. Untuk orang yang tidak melaksanakan yang wajib seperti shalat dan zakat serta lainnya diistilahkan sebagai fasiq saja.
contoh tentang orang yang melaksanakan shalat dan berzakat. Menunaikan shalat dan zakat disebut realisasi iman, maka orang yang melakukan keduanya disebut mukmin, tetapi kalau shalat dan zakat tidak ditunaikan, orang tersebut tidak boleh pula disebut kafir. Untuk orang yang tidak melaksanakan yang wajib seperti shalat dan zakat serta lainnya diistilahkan sebagai fasiq saja.
Sedangkan pendapat
Ibad Ibn Sulaiman, dari kalangan pemuka Mu’tazilah juga, agak sederhana dari
pendapat terdahulu, ia berpendapat iman adalah kepatuhan kepada yang wajib
bukan sunah. Seseorang yang tidak beriman kepada Allah disebut kafir millah,
yaitu kafir agama. Dari pendapat pemuka Mu’tazilah, dapat disimpulkan bahawa
kufur adalah tidak mengucap dua kalimat syahadat dengan iringan keyakinan penuh;
dan fusuq adalah perbuatan dosa besar, serta iman adalah pengakuan dengan hati
yang dinyatakan dengan lisan dan melaksanakan perintah-perintah Allah serta
menjauhi dosa besar.[35]
ASY’ARIYAH
Agak pelik untuk memahami makna iman yang di berikan oleh Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari sebab, di dalam karya-karyanya seperti Maqalat. Al-Ibanah
dan Al-Luma, ia mendefinisikan iman secara berbeda-beda. Dalam Maqalat dan
Al-Ibanah disebutkan bahwa iman adalah qawl dan amal dan dapat bertambah serta
berkurang. Dalam Al-Luma, iman diartikannya sebagai tashdiq bi allah.
Argumentasinya, bahwa kata mukmin seperti disebutkan dalam Al Qur’an surah
Yusuf ayat 7 memiliki hubungan makna dengan kata sadiqin dalam ayat itu juga.
Dengan demikian, menurut Al-Asy’ary,iman adalah tashdiq bi al-qalb (membenarkan
dengan hati).
Di antara definisi iman yang di inginkan Al-Asy’ary dijelaskan oleh
Asy-Syahrastani, salan seorang teolog Asya’irah. Asy-Syahrastani menulis:
“Al-Asy’ary berkata,”....Iman (secara esensial)adalanh tashdiq bi
al-janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan ‘mengatakan’ (qawl) dengan lisan
dan melakukan berbagai kewajiban utama (ama bi al-arkan) hanyalah merupakan
furu (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan
Tuhan dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang
mereka bawa darinya, iman orang semacam itu merupakan iman yang sahih.... dan
keimanan seorang tidak akan hilang kecuali jika ia mengingkari salah satu dari
hal-hal tersebut.
Keterangan Asy-Syahrastani di atas, di samping mengkonvergensikan
kedua definisi yang berbeda yang di berikan Al-Asy’ari dalam maqalat. Al-Ibanah
dan Al-Luma kepada satu titik pertemuan, juga menempatkan ketiga unsur iman
hanyalah tashdiq, yang jika diekspresikan secara verbal berbentuk syahadatan.
Menurut
al-Asy’ari sendiri, iman ialah pengakuan dalam hati tentang ke-Esaan Allah dan
tentang kebenaran Rasul-Rasul serta segala apa yang mereka bawa, mengucapkannya
dengan lidah dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang iman. Dengan
demikian, untuk menjadi mukmin, cukup dengan pengakuan dalam hati tentang dua
kalimah syahadah serta membenarkan apa yang dibawa oleh Rasul. Dengan itu,
tentulah yang disebut kufur ialah orang yang tidak membuat pengakuan atau
membenarkan tentang ke-Esaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul serta segala
yang mereka bawa. Menurut Asy’ariyyah seorang muslim yang berdosa besar jika
meninggal dunia tanpa bertaubat, nasibnya terserah kepada ketentuan Tuhan,
mungkin orang itu diampuni Allah karenarahmat dan kasih sayang-Nya. Ada
kemungkinan juga tidak akan diampuni Allah dosa-dosanya dan akan diazab sesuai
dengan dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukkan ke dalam
syurga, kerana ia tidak mungkin akan kekal tinggal dalam neraka.
Ringkasan dari
uraian ini dapat disimpulkan menurut Asy’ariyyah orang-orang yang berdosa besar
bukanlah kafir, dan tidak akan kekal dalam neraka. Orang demikian adalah mukmin
dan akhirnya akan masuk syurga. Selanjutnya bagi Maturidiyyah, orang yang
berdosa kecil, dosa-dosa kecilnya akan dihapus oleh kebaikan salat dan
kewajipan-kewajipan lain yang dijalankan. Pendapat ini didasarkan kepada firman
Allah surah Hud, 11: 114:44
Artinya:
“Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu mengahapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang jahat. Itulah peringatan bagi orangorang yang ingat.”
Artinya:
“Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu mengahapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang jahat. Itulah peringatan bagi orangorang yang ingat.”
Manusia harus percaya adanya Tuhan,aliran Asy’ariyah mewajibkan
kita untuk meyakini Tuhan karena kita diajari oleh Nabi Muhammad SAW bahwa
Tuhan itu ada dan hal itu dinyatakan dengan Al-Qur’an. Jadi tegasnya, kita
wajib percaya pada adanya Tuhan, karena diperintahkan oleh Tuhan dan perintah
ini kita tangkap dengan akal. Maka dengan demikian akal itu bukanlah sumber
tetapi hanya sekedar sebagai alat saja. Dari keterangan yang menggambarkan
adanya Tuhan di atas,terlihat bahwa seorang itu wajib beriman karena
diperintahka oleh Tuhan. Maka nampak disini bahwa Asy’ariyah lebih menekankan
pada fungsi wahyu dari pada akal. Dan kalaupun akal digunakan kedudukannya
tidak lebih hanya sebagai penguat atau
alat.
Aliran Asy’ariyah sangat kuat berpegang teguh pada wahyu dan
bercorak Theocentris dan segalanya bermula pada Tuhan. Baik dan buruk semuanya
ditentukan oleh Tuhan. Maka dari itu aliran Asy’ariyah dikategorikan sebagai
aliran yang bercorak tradisional. Kemudian faham teologi tradisional juga di
anut oleh Maturidiah Bukhara. Dalam faham theologinya al Badzawi selamanya
tidak sepaham dengan Maturidiah. Antara Maturidi Bukhara dan al-Maturidi
Samarkand terdapat perbedaan yang berkisar
pada persoalan kewajiban mengetahui Tuhan. Kalau Maturidi Bukhara
kewajiban mengetahui Tuhan itu di capai dengan wahyu sedangkan Maturidi
Samarkand tidak demikian halnya, yaitu mewajibkan mengetahui Tuhan dengan akal.
Dan pula kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk,
tidaj dapat diketahui dengan akal tetapi diketahui dengan wahyu.
MATURIDIYAH
Dalam masalah iman, aliran maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa
iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian
ini di kemukakan oleh Al-Maturidiyah sebagai bantahan terhadap Al-Karamiyah,
salah satu subsekte Murji’ah. Ia beragumentasi dengan ayat Al-Qur’an surat
Al-Hujurat ayat 14.
Artinya:Orang-orang
Arab berkata:”Kami telah beriman,katakanlah:”kamu belum beriman ,Tapi
katakanlah kami telah tunduk ,karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu,dan
jika kamu taat kepada Allah dan
Rasul-Nya ,Dia tidak akan mengurangi sedikitpun
pahala amalanmu , sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi maha Penyayang.
Ayat tersebut dipahami Al-Maturidiyah sebagai suatu penegasan bahwa
keimana itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh
kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman,menjadi batal
bila hati tidak mengakui dengan ucapan lidah. Al-Maturidiyah tidak berhenti
sampai disitu. Menurutnya,tashdiq seperti yang dipahami di atas, harus di
peroleh dengan ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui
penalaran akal, bukan sekedra berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi
mandasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Pada surat
Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk
memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan
Ibrahim tersebut, lanjut Al-Maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum
beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya
dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah.
Jadi,menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan
ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman,
melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut
Maturidiyah Bukhara, sepeti yang dijelaskan oleh Al-Badzawi, adalah tashdiq bi
al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan
rasul-rasul yank diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang
dimaksud tashdiq al-lisan adalah mengakui
kebenaran seluruh kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat
ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama
menempatkan tashdiq sebagai unsur esensian dari keimanan walaupun dengan
pengungkapan yang berbeda.
Dari penelaahan karya Al-Maturidi, penulis tidak menemukan
pendapatnya yang berkenaan dengan masalah fluktuasi iman. Meskipun demikian,
komentarnya terhadap Al-Fiqh Al-Akbar, karya Abu Hanifiah tentang fluktuasi
iman, dapat dijadikan referensi sebagai pendapatnya sendiri. Al-Maturidi tidak
mengakui adanya fluktuasi iman. Meskipun demikian, berbeda dengan Abu Hanifah.
Al-Maturidi menerima adanya perbedaan individual dalam iman. Hal itu dibuktikan
dengan sikap penerimaannya terhadap hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa skala
iman Abu Bakr lebih berat dan lebih besar daripada skala iman seluruh
manusia.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari beberpa pemaparan diatas, serta segala penjelasan-penjelasan, yang
kami dapat mengambil kesimpulan, yaitu iman merupakan suatu bentuk urusan hati
yang mendorong seseorang untuk melakukan amaliah-amaliah serta iman merupakan
dasar atau pondasi seseorang untuk dapat dekat dengan Allah. Dan sebaliknya
kufur adalah merupakan sesuatu yang sangat dimurkai oleh Allah. Kufur juga
merupakan ketidak percayaan terhadap Allah AWT beserta segala Kekuasaan-Nya.
Sehingga kufur merupakan suatu bentuk urusan hati yang dapat mendorong
seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela.
Berdasarkan perbandingan yang telah dikemukakan, nampak jelas bagaimana
konsep iman dan kufur menurut perspektif aliran yang kelima dalam teologi. Pada
mulanya konsep ilmu kalam dalam pembahasan iman dan kufur agak sederhana,
seperti yang terdapat di kalangan Khawarij dan Murjiah, tetapi kemudian
pembahasannya lebih terperinci. Hal ini terjadi setelah datangnya tingkatan
perkembangan kemajuan berfikir dan penelitian dari tokoh-tokoh Mu’tazilah. Pada
masa berikutnya, aliran ini pernah menjadi anutan penguasa di zaman Bani Abbas.
Kemajuan ini mungkin karena telah terjadinya interaksi intelektual dengan
falsafah Yunani. Dengan falsafah dan logika itu, Mu’tazilah mengembangkan
konsep-konsep dan faham yang lebih logis dan sistematis dibandingkan dengan
faham sebelumnya. Dari metode berfikir kaum Mu’tazilah yang mempergunakan rasio
itulah sebenarnya yang menjadi dasar pembahasan tentang iman dan kufur pada
aliran-aliran berikutnya seperti Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah di kalangan ahli al-Sunnah wa al-jama’ah.
DAFTAR PUSTAKA
- Abdul Hamid Musa, Jalal. 1975. Nassy’ah
al-asyariyyah wa tatawwaruha. Dar Al-Kitab Al-Arabi: Lebanon
- Amin, Ahmad. 1969. Zuhr al-Islam juz IV.
Dar Al-Kitab Al-Arabi: Lebanon
- Anwar, DR Rosihon. lmu Kalam
- Az-Zindani, Syeikh Abdul Majid.
Samudera Iman
- Bashori.2001. Ilmu Tauhid. UIN-Pers
- Husain, Abu Lubabah. Pemikirn Hadis Mu’tazilah
- Mahmud, Ahmad. 1998. Tauhid Ilmu Kalam.
Pustaka Cetia: Bandung
- Mohd. Said Ishak Jurnal
Teknologi, 36(E) Jun. 2002: 61–74 © Universiti Teknologi Malaysia
- Nasution, Harun. 1983. Teologi Islam
(Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan). UIN-Pers : Jakarta
- Nasution, Harun. 1986. A[dal dan Wahyu dalam Islam. UIN-Pers:
Jakarta
- Subhi. 1982. Fi’ilm
Al-Kalam.
- Syukur,Rof Aswadie.2001. LC Al-milal wa Al-nihal
- Rozak
,Abdur.2007.Ilmu Kalam.Bandung :Pustaka Setia
- Abbas
Sirajuddin.1991.I’tiqad Ahlus Sunnah Waljama’ah.Jakarta : Pustaka
Tarbiyah
[1] Abdur Rozak,Ilmu Kalam. Hlm 142
[3] Al-Gunaimi Abdul A.H.Tahdzib
Syarh Ath-Thahawiyah .hlm 207
[4] Syeikh Abdul Majid Az-Zindani Samudera
Iman hal 4
[5] Bukhari Kitaabush Shalat
[6] Bukhari Kitabul Adzan
[8] Filosofi Arab Rudi Fakkar dalam Konferensi
Internasional Kedokteran Al-Quran
[9] Syeikh Abdul Majid Az-Zindani Samudera
Iman hal 4
[11] Syeikh Abdul Majid Az-Zindani Samudera
Iman hal 5
[16] Al-Gunaimi Abdul A.H.Tahdzib
Syarh Ath-Thahawiyah .hlm 212
[17] Syirajuddin
Abbas. I’tiqad Ahlus sunnah Waljamaah, hlm 161
[18] Ibid ,hlm 161
[19] Ibid ,hlm 161-162
[21] DR Rosihon Anwar Ilmu Kalam hlm 146
[22] Abu Lubabah Husain Pemikirn Hadis Mu’tazilah halm 37
[23] DR Rosihon Anwar Ilmu Kalam hlmn 146
[24] Wensick op ct halm 135
[25] Rof Aswadie Syukur, LC Al-milal wa
Al-nihal halm 42
[26] Ibid hlm 51
[27] DR Rosihon Anwar Ilmu Kalam hlm 147
[28] Ibid
[29] DR Rosihon Anwar Ilmu Kalam hlm 147
[30] DR Rosihon Anwar Ilmu Kalam hlm 147
[32] DR Rosihon Anwar Ilmu Kalam hlm 147
0 komentar:
Post a Comment