IBX5B1983B5DCA99

Opsional

Monday, November 21, 2016

ANALISIS DAN PERBANDINGAN KONSEP IMAN DAN KUFUR

Makalah Kelompok 8
ANALISIS DAN PERBANDINGAN KONSEP
IMAN DAN KUFUR
Pengoreksi
Kelompok IX
Oleh:
Muhlish                                  (10610066)
Abdul Hafiz                            (10610063)
Israfatul Furaidah                           (10610064)
Evi Nurul Fatmawati             (10610065)



KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah atas limpahan Rahmat, Taufiq, serta Hidayah Nya sehingga kami dapat menyelesaikan  makalah kami yang berjudul “Perbandingan Konsep Iman dan Kufur”.
 Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah banyak memberikan  informasi kepada penulis sehingga terselesaikan tugas makalah ini. Makalah ini kami buat untuk mengetahui konsepiman dan kufur serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Teologi.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca dan para pakar, kami mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini benar-benar bermanfaat bagi semua pihak.



                                                                                  Malang, April 2011,


                                                                                         Tim Penulis





PENDAHULUAN


  Perbincangan tentang iman dan kufur ini timbulnya pada masa pemerintahan Ali Ibn Abi Talib. Pada waktu itu terjadi pertempuran antara Saidina Ali dengan Mu’awiyyah Ibn Abi Sufyan. Mu’awiyyah adalah gabenur Damaskus yang tidak setuju pemerintahan Saidina Ali. Pertempuran ini terkenal dengan peperangan Siffin (659 M.). Ketika pasukan Saidina Ali hampir memenangi pertempuran tersebut, pembantu kanan Mu’awiyyah, ‘Amr Ibn Al-‘As yang terkenal sebagai orang licik, meminta berdamai dengan mengangkat al-Quran ke atas. Qurra yang ada di pihak Saidina Ali mendesak Saidina Ali supaya menerima tawaran itu, dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan pengantara (arbitrasi). Sebagai pengantara dilantik dua orang, iaitu: ‘Amr Ibn Al-‘As di pihak Mu’awiyyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Kesimpulan dari arbitrasi tersebut merugikan pihak Ali dan menguntungkan pihak Mu’awiyyah, lalu Mu’awiyyah dengan sendirinya dianggap menjadi khalifah tidak rasmi.
Sebagian dari pengikut Ali tidak setuju dengan pengantara (arbitrasi) tersebut, dan karena itu mereka meninggalkan barisan Saidina Ali. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenal dengan nama Khawarij. Dengan demikian, gambaran dari persoalan-persoalan politik inilah akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan teologi.
Golongan Khawarij ini memandang bahawa Saidina Ali, Mu’awiyyah, ‘Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrasi itu adalah kafir, karena mereka semuanya tidak kembali menetapkan hukum kepada al-Quran seperti yang dimaksudkan oleh firman Allah dalam surah al-Maidah, 5: 44:
Artinya:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan la hukma illa lillah karena keempat tempat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam, yaitu murtad. Mereka mesti dibunuh. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang melakukan dosa besar, yaitu murtakib al-kabair. Persoalannya ialah, masihkah dia mukmin ataukah dia menjadi kafir, kerana melakukan dosa besar? Dengan demikian, dari persoalan inilah menimbulkan akhirnya lahir aliran-aliran baru ilmu al-kalam di samping Khawarij. Aliran-alirannya adalah Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.             

PEMBAHASAN

PERBANDINGAN DAN ANALISA KONSEP IMAN DAN KUFUR

Agenda persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi islam adalah masalah iman dan kufur. Persoalan itu dimunculkan pertama kali oleh kaum khawarij  tatkala mencap kafir sejumlah tokoh sahabat nabi SAW yang dipandang telah berbuat dosa besar, antara lain ali bin abi thalib, mu’awiyyah bin abi sufyan,abu musa al-asy’ari,amr bin al-ash,thalha bin ubaidillah, zuber bin awwan, dan aisyah,istri rasulullah SAW.¹masalah ini lalu dikembangkan oleh khawarij dengan tesis utamanya bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir.
Pernyataan teologis itu selanjutnya bergulir menjadi bahan perbincangan dalam setiap diskursus aliran-aliran teologis islam yang tumbuh kemudian, termasuk aliran teologi islam yang tumbuh kemudian, termasuk aliran Murji’ah. Aliran lainnya, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah turut ambil bagian dalam polemic tersebut.malah tak jarang di dalam tiap-tiap aliran tersebut terdapat perbedaaan pandangan di antara sesame pengikutnya.
Perbincangan konsep iman dan kufur menurut tiap-tiap aliran teologi islam, seperti yang terlihat dari berbagai literatur ilmu kalam, acapkali lebih dititikberatkan pada satu aspek saja dari dua term, yaitu iman atau kufur. Ini dapat dipahami sebab kesimpulan tentang konsep iman bila dilihat kebalikannya juga berarti kesimpulan tentang konsep kufur.
Menurut Hassan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teolog muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu :
  1. marifah bi al-aql, (mengetahui dengan akal)
  2. amal, perbuatan baik atau patuh
  3. iqrar, pengakuan secara lisan, dan
  4. tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula didalamny amarifah bi al-qalb (mengetahui dengan hati).
Keempat istilah kunci di atas misalnya terdapat dalam hadis Nabi SAW. Yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فا ن لم يستطع فبلسانه فا ن لم يستطع فبقلبه وذالك اضعف الأيما ن
Artinya:”barag siapa diantara kalian yang melihat (marifah) kemunkaran, hendaklah mengambil tindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, lakukanlah dengan ucapanmu. Jika itupun tidak mampu, lakukanlah dengan kalbumu. (Akan tetapi yang terakhir )ini merupakan iman yang paling lemah”. (H.R. Muslim)[1]
KONSEP KEIMANAN
Para Mutakallimin dalam golongan ahlus sunnah wal jama’ah secara umum merumuskan unsur-unsur iman terdiri dari al-tasdiq bi al-qalb; al-iqrar bi al-lisan; dan al-‘amal bi al-jawarih. Ada yang berpendapat unsur ketiga dengan istilah yang lain: al-‘amal bi al-arkan yang membawa maksud melaksanakan rukun-rukun Islam. Perbedaan dan persamaan pendapat para mutakallimin dalam konsep iman nampaknya berkisar di sekitar unsur tersebut. Jika dilihat dari asal bahasa kata iman berasal dari bahasa arab yang berarti membenarkan, dan dalam bahasa Indonesia kata iman berarti percaya yaitu sebuah kepercayaan dalam hati dan membenarkan bahwa adanya Allah SWT itu benar-benar ada serta membenarkan dan mengamalkan semua yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan mempercayai Rasul-Rasul sebelumnya.[2] Apakah hanya sebatas rosul. Maka Iman adalah mempercayai dan membenarkan terhadap adanya Allah,para Malaikat,kitab-kitab-Nya ,para Rasul-Nya,Hari Akhir dan takdir baik maupun buruk ,manis maupun pahit dan bahwa kesemuanya itu berasal dari Allah. Seperti hadits nabi
ان تؤ من با الله وملا ئكته ورسله واليوم الآخر وتؤمن با اقدر خيره وشره
Artinya:Hendaknya engkau beriman kepada Allah ,para malaikat-Nya,Kitab-kitab-Nya,Para Rasul-Nya,Hari Akhir dan hendaknya engkau juga beriman kepada Taqdir,baik maupun buruk. [3]

Adapun menurut syara’ iman berarti :
1.      Membenarkan [4]
Allah berfirman :  “ dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau,  dan mereka yakin tentang aanya hari akhirat.” (QS. Al-Baqarah:4)
Membenarkan dan yakin adalah dua perbuatan dari sekian banyak perbuatan hati. Diantara ulama’ ada yang mendefinisikan iman sebagai ucapan dan perbuatan, dan ini dinamakan ucapan hati.[5]
 Sebagian ulama’ berpendapat bahwa makna dalam hati ini adalah satu-satunya makna iman. [6]
2.      Mengumumkan lewat ucapan[7]
Allah berfirman: “ Ktakanlah: ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang  diturunkan kepada Ibrahim, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi  dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya. (QS> Al-BAqarah:136)
Rasulullah bersabda: “ Aku diperintah agar memerangi manusia hingga mereka berkata Tiada Tuhan selain Allah.”[8]
Nash-nash syara’ di atas menunjukkan bahwa iman merupakan ucapan, telah dimaklumi bersama bahwa kafir tidak dianggap islam kecuali bila ia mengucapkan dua kalimah syahadad , kecuali bila ia bisu maka ia dianggap islam dengan adanya tanda-tanda yang menunjukkan keimanannya.[9]
3.      Dalam Al-Kitab dan As-Sunnah disebutkan bahwa iman mempunyai makna perbuatan.[10]
Allah berfirman: “ Dan kemudian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kitab-kitab (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya, melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik kebelakang. Sungguh (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah.  Dan Allah tidak akan meyia-nyiakan imanmu. Sungguh Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.”
    (QS. Al-Baqarah:143)
Nabi Muhammad bersabda: “Orang mukmin yang paling mul;ia imannya adalah orang yang paling baik budi pekartinya.”
    Budi pekerti merupakan perbuatan.[11]

Iman merupakan inti dasar dari sebuah peribadatan, tanpa adanya keimanan sangat mustahil seseorang dapat membenarkan adanya Tuhan.[12]
Dalam pembahasan ilmu kalam konsep iman terbagi menjadi tiga golongan yaitu :
1)            Iman adalah Tasdiq dalam hati atas wujud Allah dan keberadaan Nabi atau Rasul Allah. Menurut konsep ini iman dan kufur semata-mata adalah urusan hati, bukan Nampak dari luar. Jika seseorang membenarkan atau meyakini adanya Allah maka ia dapat disebut teklah beriman kepada Allah meskipun perbuatannya tidak sesuai dengan ajaran agama islam. Konsep iman ini banyak dianut oleh mazhab murjiah yang sebagian besar penganutnya adalah Jahamiyah dan sebagian kecil Asy’ariyah. Menurut paham diatas bahwa keimanan seseorang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan atau amaliyah-amaliyah zahir, dikarenakan hati adalah sesuatu yang tersembunyi sehingga tidak dapat disangkut pautkan dengan keadaan yang zhahir. [13]
2)            Iman adalah Tasdiq di dalam hati dan diikrarkan dengan lidah. Dengan demikian seseorang dapat digolongkan beriman apabila mempercayai dalam hati keberadaan Allah dan mengikrarkan  (mengucapkan) dengan lidah. Disini antara keimanan dan perbuatan manusia tidak ada hubungannya. Yang terpenting dalam iman adalah Tasdiq dalam hati dan diikrarkan dengan lisan konsep ini dianut oleh sebagian pengikut Mahmudiyah[14]
3)            Iman adalah Tasdiq dalam hati dan diikrarkan dengan lisan serta dibuktikan dengan perbuatan. Disini diterangkan bahwa antara iman dan perbuatan Terdapat keterkaitan karena keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya konsep iman ini dianut oleh Mu’tazilah dan Khawarij.[15]


KONSEP KEKUFURAN
Kufur secara lughat (bahasa) kata kufur berasal dari bahasa Arab yang bermakna ingkar. Kufur dalam banyak pengertian sering diantagoniskan sebagai kedaan yang bertolak belakang dengan iman. Adapun yang dimaksud kufur dalam pembahasan ini adalah keadaan tidak percaya/tidak beriman kapada Allah SWT. Maka orang yang kufur/kafir adalah orang yang tidak percaya/tidak beriman kepada Allah baik orang tersebut bertuhan selain Allah maupun tidak bertuhan, seperti paham komunis (ateis). Kufur ialah mengingkari Tauhid, Kenabian, Ma'ad, atau ragu terhadap kejadiannya, atau mengingkari pesan dan hukum para nabi yang sudah diketahui kedatangannya dari sisi Allah SWT. Ciri dari kekufuran adalah mengingkari secara terang-terangan terhadap suatu hukum Allah SWT yang mereka tahu tentang kebenarannya dan mereka memiliki tekad untuk memerangi agama yang hak. Dari sinilah syirik (mengingkari tauhid) termasuk salah satu ciri konkret dari kekufuran.
Oleh karena itu orang-orang kufur/kafir sangatlah dimurkai oleh Allah SWT karena mereka tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah. Adapun kufur/kafir sangatlah erat kaitannya atau hubungannya dengan keadaan-keadaan yang menyesatkan seperti syirik, nifak, murtad, tidak mau bersyukur kepada Allah SWT, dan lain sebagainya. (menurut saya, kata nifak dan tidak syukur nikmat, tidak bisa di golongkankan/tidak sejalan denga konsep kufur dalam definisi kufur yang telah anda ungkapkan di atas, karena orang yang nifak dan orang yang tidak bersyukur kepad Allah, tetap tergolong muslim dan tidak dapat di golongkan dalam golongan kufur atau musyrik  ).
KONSEP KUFUR DAN KEDUDUKAN PELAKU DOSA BESAR MENURUT PARA MUTAKALLIMIN
Ada hadist-hadist yang mengatakan bahwa dosa besar selain syirik ialah: (Seharusnya Hadistnya Di Tulis)
a)      Zina
b)      Sihir
c)      Membunuh manusia tanpa sebab yang dibolehkan Allah
d)     Memakan harta anak yatim piatu
e)      Riba
f)       Meninggalkan medan perang
g)      Memfitnah perempuan yang baik-baik
Bagi golongan Ibadiah, orang yang melakukan dosa besar termasuk dalam arti yang pertama, yaitu mereka masih tetap muwahhidun, sah syahadatnya, boleh nikah dan waris mewarisi, bahkan yang terpenting haram darah mereka, artinya tidak diperangi.
Nampaknya pendapat Ibadiah ini lebih sederhana dari Azariqah.
Bagi Azariqah, orang yang tidak masuk golongan mereka boleh diperangi, karena bukan daerah Islam tetapi adalah dar al-harb atau dar al-kufr, darah mereka adalah halal. Yang dianggap dar al-Islam bagi mereka hanyalah orang yang termasuk wilayah atau golongan mereka saja. Menurut al-Bazdawi, konsep Khawarij mengatakan bahwa orang yang meninggal dunia dalam keadaan berdosa besar dan berdosa kecil yang tidak bertaubat akan kekal dalam neraka.
Bagi kaum Murjiah secara umumnya berpendapat bahwa soal kufur dan tidak kufur adalah lebih baik ditunda saja sampai ke Hari Pengadilan Tuhan di akhirat kelak. sebab itu, kaum Murjiah tetap menganggap sahabat-sahabat yang terlibat dengan arbitrase adalah orang-orang yang dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Tetapi ada juga di kalangan cabang Murjiah yang mempersoalkan tentang soal kufur seperti Muhammad Ibn Karran. Menurutnya, orang-orang yang tidak mengucap dua kalimat syahadat, serta orang yang mendustakan dan mengingkari adanya Allah dengan perkataan bukan dengan perbuatan adalah kafir.
Argumentasi Murjiah, ialah bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar masih mengucap dua kalimat syahadat dan Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya, orang seperti ini masih mukmin bukan kafir atau musyrik. Dalam dunia ini ia tetap dianggap mukmin bukan kafir. Soalnya di akhirat diserahkan kepada keputusan Tuhan, kalau dosa besar diampunkan, ia segera masuk syurga, kalau tidak akan masuk neraka untuk waktu yang sesuai dengan dosa yang dilakukan dan kemudian masuk surga. { Dalil yg dignakan yaitu hadits nabi:
يخرج من النار من كا ن فى قلبه مثقل ذرة من ايمان                              
Artinya:Akan keluar dari Naar orang yang didalam hatinya masih terdapat meskipun sebiji dzarrah keimanan .(H.R Bukhori Muslim)
Dalam hadits diatas Nabi tidak menghususkan hal itu bagi umatnya saja ,dan Ucapan beliau  Meskipun mereka belum bertaubat.
Dan ucapan beliau :”Mereka diserahkan kepada kehendak dan keputusan Allah .Kalu Dia menghendaki ,mereka dapat diampuni dan dimaafkan dosa-dosa mereka dengan ke utamaan-Nya….”[16]
Kalau patuh dan taat terhadap yang wajib dan sunah disebut iman, ini bukan berarti kalau tidak melakukan yang wajib dan sunah langsung menjadi kufur. Menurut Hisyam al-Fathi, salah seorang pemuka Mu’tazilah, menyebut keadaan seperti itu dengan
contoh tentang orang yang melaksanakan shalat dan berzakat. Menunaikan shalat dan zakat disebut realisasi iman, maka orang yang melakukan keduanya disebut mukmin, tetapi kalau shalat dan zakat tidak ditunaikan, orang tersebut tidak boleh pula disebut kafir. Untuk orang yang tidak melaksanakan yang wajib seperti shalat dan zakat serta lainnya diistilahkan sebagai fasiq saja. Sedangkan pendapat Ibad Ibn Sulaiman, dari kalangan pemuka Mu’tazilah juga, agak sederhana dari pendapat terdahulu, ia berpendapat iman adalah kepatuhan kepada yang wajib bukan sunah. Seseorang yang tidak beriman kepada Allah disebut kafir millah, yaitu kafir agama.
Dari pendapat pemuka Mu’tazilah, dapat disimpulkan bahawa kufur adalah tidak mengucap dua kalimat syahadat dengan iringan keyakinan penuh; dan fusuq adalah perbuatan dosa besar, serta iman adalah pengakuan dengan hati yang dinyatakan dengan lisan dan melaksanakan perintah-perintah Allah serta menjauhi dosa besar. Menurut al-Asy’ari sendiri, iman ialah pengakuan dalam hati tentang ke-Esaan Allah dan tentang kebenaran Rasul-Rasul serta segala apa yang mereka bawa, mengucapkannya dengan lidah dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang iman. Dengan demikian, untuk menjadi mukmin, cukup dengan pengakuan dalam hati tentang dua kalimah syahadah serta membenarkan apa yang dibawa oleh Rasul.
Dengan itu, tentulah yang disebut kufur ialah orang yang tidak membuat pengakuan atau membenarkan tentang ke-Esaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul serta segala yang mereka bawa. Menurut Asy’ariyyah seorang muslim yang berdosa besar jika meninggal dunia tanpa bertaubat, nasibnya terserah kepada ketentuan Tuhan, mungkin orang itu diampuni Allah karenarahmat dan kasih sayang-Nya. Ada kemungkinan juga tidak akan diampuni Allah dosa-dosanya dan akan diazab sesuai dengan dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukkan ke dalam syurga, kerana ia tidak mungkin akan kekal tinggal dalam neraka. Ringkasan dari uraian ini dapat disimpulkan menurut Asy’ariyyah orang-orang yang berdosa besar bukanlah kafir, dan tidak akan kekal dalam neraka. Orang demikian adalah mukmin dan akhirnya akan masuk syurga. Selanjutnya bagi Maturidiyyah, orang yang berdosa kecil, dosa-dosa kecilnya akan dihapus oleh kebaikan salat dan kewajipan-kewajipan lain yang dijalankan. Pendapat ini didasarkan kepada firman Allah surah Hud, 11: 114:44
Artinya:
Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu mengahapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang jahat. Itulah peringatan bagi orangorang yang ingat.”

KHAWARIJ
a. Konsep iman
Khawarij mengatakan pengertian iman itu ialah, beriktikad dalam hati dan berikrar dengan lidah serta menjauhkan diri dari segala dosa. Khawarij cabang al-Azariqah, sangat kuat berpegang kepada nas (teks) al-Quran. Menurutnya bahwa iman yang sempurna itu, adalah iman orang yang benar-benar dapat menyesuaikan dan menyatukan perkataan dan perbuatan. Iman adalah qaul wa amal. Bagi kaum Khawarij amal merupakan suatu kemestian, yang mesti ditunaikan, karena amal adalah bergandengan dengan pengakuan atau al-tasdiq. Pemahaman iman dan amal Khawarij disepakati pula oleh Mu’tazilah, kecuali dalam hal-hal menjauhkan diri dari dosa.
Khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya yaitu dosa besar agar dengan demikian orang islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat dirampas harta bendanya dengan dalih mereka berdosa dan setiap yang berdosa adalah kafir. Mengkafirkan Ali, Utsman, 2 orang hakam, orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal dan orang-oranng yang rela terhadap tahkim dan mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar dan wajib berontak terhadap penguasa yang menyeleweng.
Iman menurut Khawarij,iman bukanlah tasdiq dan iman dalam arti mengetahui pun belumlah cukup. Menurut Abd.Al-Jabbar orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadaNya, bukanlah orang yang mukmin dengan demikian iman bukanlah tasdiq bukanlah ma’rifah tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan.Sehingga mereka berpendapat bahwa iman itu bukan pengakuan dakam hati dan ucapan dengan lisan saja ,tetapi amal ibadah menjadi rukun iman pula.[17]

b. Konsep Kufur
Menurut mayoritas pemuka Khawarij, berpendapat bahawa semua dosa besar adalah kufur, orang yang melakukan dosa besar itu dihukum kafir dan kekal di dalam neraka. Pendapat ini diutarakan oleh golongan cabang al-Muhakkimah yang paling awal dalam Khawarij. Khawarij cabang Azariqah lebih ekstrim dari golongan pertama. Mereka menghukum sebagai syirik bagi orang yang melakukan dosa besar. Di dalam Islam syirik lebih besar dari kufur, bahkan lebih jauh dari itu bagi golongan Azariqah menyatakan bahwa yang menjadi musyrik bukan hanya orang Islam yang melakukan dosa besar saja, tetapi juga semua orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka.
Subsekte Najdah tak jauh berbeda dari Azariqah. Kalau Azariqah memberikan predikat musyrik kepada umat islam yang tidak mau bergabungdebgab kelompok mereka, Najdah punmemberikan predikat yang sama kepada siapapun dari umat islam yang secara berkesinambungan mengerjakan dosa kecil. Akan halnya dengan dosa besar, bila tidak di lakukan dengan kontinu, pelakunya tidak di pandang musyrik. Tetapi kafir. Namun, jika pelakunya malaksanakan terus-menerus, ia akan menjadi musyrik.
Lain halnya dengan subsekte khawarij yang sangat moderat, yaitu ibadiyah. Subsekte ini memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwahhid (yang mengesakan tuhan), tetapi bukan mukmin. Pendeknya, ia tetap disebut kafir tetapi hanya merupakan kafir nikmat dan bukan kafir milah(agama). Siksaan yang bakal mereka terima di akhirat nanti adalah kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir lainnya.
Kaum khawarij juga berpendapat ,Barang siapa yang tidak mengerjakan sembahyang,puasa ,zakat dan lain –lain maka orang itu kafir.Pendeknya bagi kaum khawarij, sekalian orang mukmin yang berbuat dosa baik dosa besar maupun kecil ,maka orang itu kafir,wajib diperangi dan boleh dibunuh,boleh dirampas hartanya.Oleh karena sayyidina Muawiyah sudah membuat dosa dengan melawan kepda khalifah yang sah yaitu sayyidina Ali, maka kaum khawarij men cap Syayyidina Muawiyah dan pengikutnya dengan kafir dan wajib diperangi.Siti Aisyah r,a, karena melawan khalifah Ali adalah kafir ,[18]
 
Berikut ini diantara penafsiran yang dilakukan al-Khawarij terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bertujuan untuk menyokong dan menguatkan eksistensi sekte mereka, adapun contoh tersebut sebagai berikut :
1.      Ayat yang melegitimasi dalam memvonis Kafir terhadap setiap pelaku dosa besar, yaitu dalam surat Ali Imran ayat 97 :
    
 
Artinya :
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi
orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah,
barangsiapa mengingkari kewajiban haji, sesungguhnya Allah maha kaya
dari semesta alam
Ayat ini mereka simpulkan bahwa orang yang meninggalkan kewajiban
haji masuk kepada kategori kafir
2.      Firman Allah swt dalam Surat al-Ma’idah ayat 44 :

Artinya :
Barang siapa Yang tidak menghukum menurut apa yang telah diturunkan
oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.
Menurut al-Khawarij, bahwa setiap pelaku dosa/pekerja maksiat, tapa
mempermasalahkan tinggkat syariknya, maka tetap dia menjadi ”kafir”,
karena mereka telah menyimpang dari wahyu Allah swt. Al-khawarij juga
menghukum para pelaku maksiat tersebut sesuai yang tertulis dalam nash
al-Qur’an tersebut.
3.      Firman Allah swt surat al-Taghabun ayat 2 :
     
Artinya :
Dia lah Yang menciptakan kamu; maka diantara kamu ada yang kafir dan
ada diantara kamu yang beriman; dan Allah Maha melihat apa Yang
kamu kerjakan
Mereka menyimpulkan dari makna zahir ayat ini, menurut mereka tidak
ada kategorisasi fasiq. Menurut al-khawarij manusia terbagi kepada dua
kategori saja yaitu mkmin dan kafir. Manusia berada pada posisi iman dan
kafir, maka oleh karena tidak kategori lain kecuali mukmin dan kafir,
mereka mengatakan bahwa orang yang tidak beriman, otomatis menjadi
kafir, sementara fasiq tidak berada dalam kategori mukmin, maka tetap
menjadi golongan kafir.
4.      Firman Allah Swt dalam Surat Ali Imran ayat 106 :
Artinya :
Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula
muka yang menjadi hitam muram. adapun orang-orang yang telah hitam
muram mukanya, (kepada mereka dikatakan): "kenapa kamu kafir sesudah
kamu beriman? Karena itu rasakan azab disebabkan kekafiran kamu itu".
Al-Khawarij mengatakan :“Orang Fasiq tidak termasuk kepada yang putih
wajahnya, dan sudah pasti termasuk yang hitam wajahnya dan wajib
dihukum kafir”
5.      Firman Allah Swt dalam Surat al-Sajadah ayat 20 :

Artinya :
Dan adapun orang-orang yang fasik, maka tempat mereka ialah neraka;
setiap kali mereka hendak keluar dari padanya, mereka dikembalikan
kedalamnya, dan dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah siksa neraka
Yang dahulu kamu mendustakannya".
Berdasarkan ayat ini al-Khawarij menjadikan seseorang itu termasuk
golongan pendusta. Demikian beberapa ayat-ayat al-Qur’an,. Dijadikan al-
Khawarij untuk mengklaim para pelaku dosa besar sebagai ”kafir”

Setelah menganalisa penafsiran ayat tersebut, setelah itu kita coba
membandingkan nya dengan ahlu sunnah wa al-Jama’ah, maka sangat
kelihatan sekali keanehan dan keganjilan penafsiran al-Khawarij tersebut.
Berdasarkan itu dapat kita katakan bahwa penafsiran al-Khawarij sangat
jauh dari kaedah penafsiran yang sebenarnya, dan fenomena menyimpang
ini dapat menimbulkan pertentangan dan konflik dikalangan umat Islam
Diantara keganjilan-keganjilan itu yang bertentangan dengan faham Ahlu Sunnah Waljamaah yaitu:
Masalah iman ,Kaum Ahlu Sunah Waljamaah berpendirian bahwa rukun iman itu hanyalah dua,yaitun membenarkan dalam hati dan mengikrarkan dengan lisan . Seseorang kalu sudah membenarkan dalam hatinya bahwa Tuhan itu ada dan tunggal,bahwa nabi Muhammad itu Rasul-Nya,sesudah itu diucapkannya dengan lisan mmaka orang itu sudah muslim dan mu’min dan berlaku baginya sekalian hokum yang bertaliaan dengan orang mu’min.Mereka hanya diminta dengan mengucapkan Syahadatain.Adapun amal ibadat,seumpama sembahyang ,puasa ,zakat dan lain-lain maka itu untuk kesempurnaan iman .Orang yang sembahyang dan mengerjakan amal ibadah sebaik-baiknya maka orang itu adalah orang mukmin yang sempurna.
Masalah Kafir, bagi Ahlus Sunnah  adalah orang-orang yang mengi’tiqadkan bahwa sembahyang itu tidak wajib baginya ,bahwa puasa tidak wajib baginya,bahwa mencuri baginya,bahwa zina halal baginya ,Orang yang semacam ini dihukum kafir karena ia menghalalkan yang sudah diharamkan Tuhan[19]
Nafi,I bin azraq,yang digelari Amirul Mu’minin oleh kaum Khawarij menyatakan bahwa yang menjadi musyrik/kafir bukan hanya orang Islam yang melakukan dosa besar saja, tetapi juga semua orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka,maka hala darahnya,hartanya dan anak isterinya.Pdndapat ini berbeda dengan Ahlus Sunnah,mereka tidak lekas-lekas mengkafirkan orang lain walupun menentang pendapatnya,karena kalimat “kafir” sangat  berbahaya ,karena dapat menentukan kecelakaan manusia yag abadi dunia akhirat.sebagaimana hadits nabi:
ايما رجل قال لأخييه يا كا فر فقد باء بها احدهما                                  
Artinya:Apabila seorang berkata kepada saudaranya “Hai Kafir”maka tetaplah hal itu bagi salah seorangnya.(H,R.Bukhari Muslim )
Maksud hadits diatas adalah,kalau benar yang ditujunya itu orang kafir,pada sisi Tuhan maka benarlah ucapannya,tapi kalau yang dikafirkan itu orang islam maka kalimat kafir itu kembali pada yang mengatakannya.[20]



MURJI’AH
Berdasarkan pandangan mereka tentang iman itu sendiri,Abu Hasan Al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi murji’ah menjadi 12 subsekte:Al-Jahwiyah,Ash-Salihiyah,Al-Yunusiyah,Asy-Syimriyah,As-Saubaniyah,An-Najjariyah,Al-Kailaniyahbin Syabib dan pengikutnya,Abu Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniyah,Al-Marrisyah, dan Al-Krraniyah  Sedangkan, Harun Nasution dan Abu Zahra Karramiyah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama,yaitu Murji’ah Moderat(Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah Ekstrim(Murji’ah Bid’ah).Diantara kalangan Murji’ah yang berpendapat senada adalah Subsekte Al-Jahmiyah,As-Salihiyah,dan Al-Yunusiyah. Mereka yang berpendapan bahwa iman adalah tashdiq secara kalbu saja,atau ma’rifah( mengetahui) Allah dengan kalbu,bukan secara demokratif,baik secara ucapan maupum tingkah laku.
Kelompok Murji’ah ekstrim yang terkenal adalah “perbuatan tidak dapat menggugurkan keimanan,sebagaimana ketaatan pun tidak dapat membawa kekufuran.” Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini memandang bahwa pelaku dosa besar tidak akan mdisiksa  di neraka.
Sedangkan kelompok Murji’ah Moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun mereka disiksa di neraka. Ia tidak kekal didalamnya.tergantung pada dosa yang pernah dilakukannya. Meskipun demikian,masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga bebas dari siksaan neraka. Ciri khas dari kelompok murji’ah lainnya adalah dimasukkannya iqrar sebagai bagian penting dari iman dan tashdiq (ma’rifah).
Satu hal yang patut dicatat oleh seluruh subsekte Murji’ah yang disebutkan oleh Al- Asy’ari, kecuali As-Saubaniyah ,At-Tuminiyah,Al-Karramiyah berpendapat bahwa yang dimaksud ma’rifah adalah cinta kepada Tuhan dan tunduk kepada-Nya.

MU’TAZILAH
Mu’tazilah mengatakan pengertian iman itu ialah, beriktikad dalam hati dan berikrar dengan lidah serta menjauhkan diri dari segala dosa. Dalam hal ini yang mereka maksud adalah hanya menjauhkan diri dari dosa besar saja. Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti  bagi pelaku dosa besar. Apakah tetap mukmin atau telah kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal  al-munzilah bain al-manzalatain.  Setiap pelaku dosa besar menurut Mu’tazilah menempati posisi tengah diantara posisi mukmin dan posisi kafir.[21] Tidak boleh disebut mukmin, walaupun dalam dirinya ada iman, kerana pengakuan dan ucapan dua kalimat syahadatnya, dan tidak pula disebut kufur, walaupun ‘amal perbuatan dianggap dosa, kerana ia tidak mempengaruhi imannya Bagi mereka, orang yang menyebutnya sebagai mukmin atau kafir adalah orang yang tidak mempunyai landasan berfikir. [22]
Dalam perkembangannya kemudian, beberapa tokoh mu’tazilah seperti Washil Bin Atha dan Amr Bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan sebutan fasik yang bukan mukmin dan bukan kafir, melainkan sebagai kategori netral dan independent. [23]
            Seluruh pemikir mu’tazilah sepakat  bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsure terpenting dalam konsep iman, bahkan hampir mengidentikkannya dengan iman.[24]
Washil Ibnu Atha mengemukakan alasan bahwa iman tediri dari unsure-unsur kebaikan. Apabila semuannya lengkap dinamakan orang beriman yang terpuji. Sebaliknya orang munafik adalah unsure imannya kurang. Ia tidak dapat dikatakan orang celaka yang kafir. Karena itu persaksiannya dapat dipungkiri  Namun apabila ia meninggal sedang ia telah melakukan dosa besar dan tidak bertobat, maka ia temasuk penghuni neraka yang kekal. Karena di hari akhir itu hanya ada dua kelompok, penghuni neraka dan penghuni surga. Namun siksa yang dikenakan kepadanya lebih ringan dari siksa yang diderita orang kafir.[25]
“Allah SWT akan memenuhi janji dan ancaman- Nya, karena Dia Maha Terpercaya, dan tidak akan merubah keputusan-Nya, karena Allah tidak mengampuni pelaku dosa kecuali setelah dia bertobat.”[26]
Ini mudah dimengerti bahwa konsep mereka tentang amal_ sebagai bagian penting keimanan_ memiliki keterikatan langsung dengan masalah al-wa’d wa al wa’id ( janji dan ancaman ) yang merupakan salah satu dari pancasila Mu’tazilah. [27]
Aspek penting lainnya dalam konsep mu’tazilah tentang iman adalah apa yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah ( pengetahuan dan akal ). Ma’rifah  menjadi unsur yang tak kalahpenting dari iman karena pandangan mu’tazilah yang bercorak rasional. Ma’rifah sebagai unsure pokok yang rasional dari iman berimplikasi pada setiap penolakan keimanan berdasarkan otoritas yang lain ( al-iman bi at-taqlid ).[28] Disini terlihat bahwa mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis atau penggunaan akal dan segala kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, menurut mereka, iman seorang dapat dikatan benar apabila didasarkan pada akal bukan karena taqlid kepada orang lain.[29]
            Pandangan mu’tazilah seperti ini, menurut  Toshihiko Izutsu, pakar teologi Islam dari Jepang, sangat sarat dengan konsekuensidan omplikasi yang cukup fatal. Hal ini karena hanya para mutakallim ( teolog ) saja yang benar-benar dapat menjadi orng yang beriman, sedangkan masyarakat awam yang mencapai jumlah mayoritas tidak dipandang sebagai orang yang benar-benar beriman ( mukmin ).[30]
            Mengenai perbuatan apa yang mereka kategorikan sebagai dosa besar, mereka agaknya merumuskan secara lebih konseptual ketimbang aliran khawarij. Yang dimaksud dengan dosa besar menurut mereka adalah segala perbuatan yang seluruh ancamannya disebutkan secara tegas didalam nas, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak disebutkan secara tegas didalam nas. Tampaknya kelimpok ini menjadikan ancaman sebagai criteria dasar bagi dosa besar maupun dosa kecil.  Sedangkan dalam konsep kebaikan dan keburukan mereka berpendapat bahwa perbuatan baik adalah sesuatu yang disepakati kebaikannya oleh orang banyak, dan perbuatan buruk adalah sesuatu yang bertentangan dengan kesepakatan mereka ( orang banyak ). [31]
            Masalah fluktuasi iman, yang merupakan persoalan teologi yang diwariskan oleh aliran murji’ah disinggung pula oleh mu’tazilah. Aliran ini berpendapat bahwa manakala seseorang meningkatkan dan melaksanakan amal kebaikannya, imannya semakin bertambah. Setiap kali ia berbuat maksiat, imannya semakin berkurang. Kenyataan ini dapat dipahami mengingat  mu’tazilah, seperti khawarij memAsukkan unsure amal sebagai unsure penting dari iman (al amal juz’tun min al-iman).[32]
Sedangkan dalam hal kekafiran,  Menurut mayoritas Mu’tazilah, orang yang tidak patuh terhadap yang wajib dan yang sunat disebut ma’asi. Ma’asi terbahagi kepada dua, iaitu pertama, ma’asi kecil dan kedua ma’asi yang besar. Ma’asi yang besar dinamakan kufur.Ma’asi yang besar, yang membawa kepada kufur ada tiga  yaitu::[33]

1)      Seseorang yang menyamakan Allah dengan makhluk.
2)      Seseorang yang menganggap Allah tidak adil atau zalim.
3)      Seseorang yang menolak eksistensi Nabi Muhammad yang menurut nas
   telah disepakati kaum muslimin.[34]

Kalau patuh dan taat terhadap yang wajib dan sunah disebut iman, ini bukan berarti kalau tidak melakukan yang wajib dan sunah langsung menjadi kufur. Menurut Hisyam al-Fathi, salah seorang pemuka Mu’tazilah, menyebut keadaan seperti itu dengan
contoh tentang orang yang melaksanakan shalat dan berzakat. Menunaikan shalat dan zakat disebut realisasi iman, maka orang yang melakukan keduanya disebut mukmin, tetapi kalau shalat dan zakat tidak ditunaikan, orang tersebut tidak boleh pula disebut kafir. Untuk orang yang tidak melaksanakan yang wajib seperti shalat dan zakat serta lainnya diistilahkan sebagai fasiq saja.
Sedangkan pendapat Ibad Ibn Sulaiman, dari kalangan pemuka Mu’tazilah juga, agak sederhana dari pendapat terdahulu, ia berpendapat iman adalah kepatuhan kepada yang wajib bukan sunah. Seseorang yang tidak beriman kepada Allah disebut kafir millah, yaitu kafir agama. Dari pendapat pemuka Mu’tazilah, dapat disimpulkan bahawa kufur adalah tidak mengucap dua kalimat syahadat dengan iringan keyakinan penuh; dan fusuq adalah perbuatan dosa besar, serta iman adalah pengakuan dengan hati yang dinyatakan dengan lisan dan melaksanakan perintah-perintah Allah serta menjauhi dosa besar.[35]
      
ASY’ARIYAH
Agak pelik untuk memahami makna iman yang di berikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sebab, di dalam karya-karyanya seperti Maqalat. Al-Ibanah dan Al-Luma, ia mendefinisikan iman secara berbeda-beda. Dalam Maqalat dan Al-Ibanah disebutkan bahwa iman adalah qawl dan amal dan dapat bertambah serta berkurang. Dalam Al-Luma, iman diartikannya sebagai tashdiq bi allah. Argumentasinya, bahwa kata mukmin seperti disebutkan dalam Al Qur’an surah Yusuf ayat 7 memiliki hubungan makna dengan kata sadiqin dalam ayat itu juga. Dengan demikian, menurut Al-Asy’ary,iman adalah tashdiq bi al-qalb (membenarkan dengan hati).
Di antara definisi iman yang di inginkan Al-Asy’ary dijelaskan oleh Asy-Syahrastani, salan seorang teolog Asya’irah. Asy-Syahrastani menulis:
“Al-Asy’ary berkata,”....Iman (secara esensial)adalanh tashdiq bi al-janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan ‘mengatakan’ (qawl) dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (ama bi al-arkan) hanyalah merupakan furu (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa darinya, iman orang semacam itu merupakan iman yang sahih.... dan keimanan seorang tidak akan hilang kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.
Keterangan Asy-Syahrastani di atas, di samping mengkonvergensikan kedua definisi yang berbeda yang di berikan Al-Asy’ari dalam maqalat. Al-Ibanah dan Al-Luma kepada satu titik pertemuan, juga menempatkan ketiga unsur iman hanyalah tashdiq, yang jika diekspresikan secara verbal berbentuk syahadatan.
Menurut al-Asy’ari sendiri, iman ialah pengakuan dalam hati tentang ke-Esaan Allah dan tentang kebenaran Rasul-Rasul serta segala apa yang mereka bawa, mengucapkannya dengan lidah dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang iman. Dengan demikian, untuk menjadi mukmin, cukup dengan pengakuan dalam hati tentang dua kalimah syahadah serta membenarkan apa yang dibawa oleh Rasul. Dengan itu, tentulah yang disebut kufur ialah orang yang tidak membuat pengakuan atau membenarkan tentang ke-Esaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul serta segala yang mereka bawa. Menurut Asy’ariyyah seorang muslim yang berdosa besar jika meninggal dunia tanpa bertaubat, nasibnya terserah kepada ketentuan Tuhan, mungkin orang itu diampuni Allah karenarahmat dan kasih sayang-Nya. Ada kemungkinan juga tidak akan diampuni Allah dosa-dosanya dan akan diazab sesuai dengan dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukkan ke dalam syurga, kerana ia tidak mungkin akan kekal tinggal dalam neraka.
Ringkasan dari uraian ini dapat disimpulkan menurut Asy’ariyyah orang-orang yang berdosa besar bukanlah kafir, dan tidak akan kekal dalam neraka. Orang demikian adalah mukmin dan akhirnya akan masuk syurga. Selanjutnya bagi Maturidiyyah, orang yang berdosa kecil, dosa-dosa kecilnya akan dihapus oleh kebaikan salat dan kewajipan-kewajipan lain yang dijalankan. Pendapat ini didasarkan kepada firman Allah surah Hud, 11: 114:44
Artinya:
Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu mengahapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang jahat. Itulah peringatan bagi orangorang yang ingat.”

Manusia harus percaya adanya Tuhan,aliran Asy’ariyah mewajibkan kita untuk meyakini Tuhan karena kita diajari oleh Nabi Muhammad SAW bahwa Tuhan itu ada dan hal itu dinyatakan dengan Al-Qur’an. Jadi tegasnya, kita wajib percaya pada adanya Tuhan, karena diperintahkan oleh Tuhan dan perintah ini kita tangkap dengan akal. Maka dengan demikian akal itu bukanlah sumber tetapi hanya sekedar sebagai alat saja. Dari keterangan yang menggambarkan adanya Tuhan di atas,terlihat bahwa seorang itu wajib beriman karena diperintahka oleh Tuhan. Maka nampak disini bahwa Asy’ariyah lebih menekankan pada fungsi wahyu dari pada akal. Dan kalaupun akal digunakan kedudukannya tidak lebih hanya  sebagai penguat atau alat.
Aliran Asy’ariyah sangat kuat berpegang teguh pada wahyu dan bercorak Theocentris dan segalanya bermula pada Tuhan. Baik dan buruk semuanya ditentukan oleh Tuhan. Maka dari itu aliran Asy’ariyah dikategorikan sebagai aliran yang bercorak tradisional. Kemudian faham teologi tradisional juga di anut oleh Maturidiah Bukhara. Dalam faham theologinya al Badzawi selamanya tidak sepaham dengan Maturidiah. Antara Maturidi Bukhara dan al-Maturidi Samarkand terdapat perbedaan yang berkisar  pada persoalan kewajiban mengetahui Tuhan. Kalau Maturidi Bukhara kewajiban mengetahui Tuhan itu di capai dengan wahyu sedangkan Maturidi Samarkand tidak demikian halnya, yaitu mewajibkan mengetahui Tuhan dengan akal. Dan pula kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk, tidaj dapat diketahui dengan akal tetapi diketahui dengan wahyu.

MATURIDIYAH
Dalam masalah iman, aliran maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini di kemukakan oleh Al-Maturidiyah sebagai bantahan terhadap Al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia beragumentasi dengan ayat Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 14.
Artinya:Orang-orang Arab berkata:”Kami telah beriman,katakanlah:”kamu belum beriman ,Tapi katakanlah kami telah tunduk ,karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu,dan jika kamu taat kepada Allah  dan Rasul-Nya ,Dia tidak akan mengurangi sedikitpun  pahala amalanmu , sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi maha Penyayang.
Ayat tersebut dipahami Al-Maturidiyah sebagai suatu penegasan bahwa keimana itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman,menjadi batal bila hati tidak mengakui dengan ucapan lidah. Al-Maturidiyah tidak berhenti sampai disitu. Menurutnya,tashdiq seperti yang dipahami di atas, harus di peroleh dengan ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedra berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mandasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-Maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah.
Jadi,menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, sepeti yang dijelaskan oleh Al-Badzawi, adalah tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yank diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud  tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensian dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.
Dari penelaahan karya Al-Maturidi, penulis tidak menemukan pendapatnya yang berkenaan dengan masalah fluktuasi iman. Meskipun demikian, komentarnya terhadap Al-Fiqh Al-Akbar, karya Abu Hanifiah tentang fluktuasi iman, dapat dijadikan referensi sebagai pendapatnya sendiri. Al-Maturidi tidak mengakui adanya fluktuasi iman. Meskipun demikian, berbeda dengan Abu Hanifah. Al-Maturidi menerima adanya perbedaan individual dalam iman. Hal itu dibuktikan dengan sikap penerimaannya terhadap hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa skala iman Abu Bakr lebih berat dan lebih besar daripada skala iman seluruh manusia.  



PENUTUP
KESIMPULAN

Dari beberpa pemaparan diatas, serta segala penjelasan-penjelasan, yang kami dapat mengambil kesimpulan, yaitu iman merupakan suatu bentuk urusan hati yang mendorong seseorang untuk melakukan amaliah-amaliah serta iman merupakan dasar atau pondasi seseorang untuk dapat dekat dengan Allah. Dan sebaliknya kufur adalah merupakan sesuatu yang sangat dimurkai oleh Allah. Kufur juga merupakan ketidak percayaan terhadap Allah AWT beserta segala Kekuasaan-Nya. Sehingga kufur merupakan suatu bentuk urusan hati yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela.
Berdasarkan perbandingan yang telah dikemukakan, nampak jelas bagaimana konsep iman dan kufur menurut perspektif aliran yang kelima dalam teologi. Pada mulanya konsep ilmu kalam dalam pembahasan iman dan kufur agak sederhana, seperti yang terdapat di kalangan Khawarij dan Murjiah, tetapi kemudian pembahasannya lebih terperinci. Hal ini terjadi setelah datangnya tingkatan perkembangan kemajuan berfikir dan penelitian dari tokoh-tokoh Mu’tazilah. Pada masa berikutnya, aliran ini pernah menjadi anutan penguasa di zaman Bani Abbas.
Kemajuan ini mungkin karena telah terjadinya interaksi intelektual dengan falsafah Yunani. Dengan falsafah dan logika itu, Mu’tazilah mengembangkan konsep-konsep dan faham yang lebih logis dan sistematis dibandingkan dengan faham sebelumnya. Dari metode berfikir kaum Mu’tazilah yang mempergunakan rasio itulah sebenarnya yang menjadi dasar pembahasan tentang iman dan kufur pada aliran-aliran berikutnya seperti Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah di kalangan ahli al-Sunnah wa al-jama’ah.




DAFTAR PUSTAKA

  1. Abdul Hamid Musa, Jalal. 1975. Nassy’ah al-asyariyyah wa tatawwaruha. Dar Al-Kitab Al-Arabi: Lebanon
  2. Amin, Ahmad. 1969. Zuhr al-Islam juz IV. Dar Al-Kitab Al-Arabi: Lebanon
  3. Anwar, DR Rosihon. lmu Kalam 
  4. Az-Zindani, Syeikh Abdul Majid.  Samudera Iman
  5. Bashori.2001. Ilmu Tauhid. UIN-Pers
  6. Husain, Abu Lubabah.  Pemikirn Hadis Mu’tazilah
  7. Mahmud, Ahmad. 1998. Tauhid Ilmu Kalam. Pustaka Cetia: Bandung
  8. Mohd. Said Ishak  Jurnal Teknologi, 36(E) Jun. 2002: 61–74 © Universiti Teknologi Malaysia
  9. Nasution, Harun. 1983. Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan). UIN-Pers : Jakarta
  10. Nasution, Harun. 1986. A[dal dan Wahyu dalam Islam. UIN-Pers: Jakarta
  11. Subhi. 1982.  Fi’ilm  Al-Kalam.
  12.  Syukur,Rof Aswadie.2001. LC Al-milal wa Al-nihal
  13. Rozak ,Abdur.2007.Ilmu Kalam.Bandung :Pustaka Setia
  14. Abbas Sirajuddin.1991.I’tiqad Ahlus Sunnah Waljama’ah.Jakarta : Pustaka Tarbiyah




[1] Abdur Rozak,Ilmu Kalam. Hlm 142
[2] Mohd. Said Ishak  Jurnal Teknologi, 36(E) Jun. 2002: 61–74 © Universiti Teknologi Malaysia
[3] Al-Gunaimi Abdul A.H.Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah .hlm 207
[4] Syeikh Abdul Majid Az-Zindani Samudera Iman hal 4
[5] Bukhari Kitaabush Shalat
[6] Bukhari Kitabul Adzan
[7] Syeikh Abdul Majid Az-Zindani Samudera Iman hal 4
[8] Filosofi Arab Rudi Fakkar dalam Konferensi Internasional  Kedokteran Al-Quran
[9] Syeikh Abdul Majid Az-Zindani Samudera Iman hal 4
[10] Syeikh Abdul Majid Az-Zindani Samudera Iman hal 4
[11] Syeikh Abdul Majid Az-Zindani Samudera Iman hal 5
[12] Mohd. Said Ishak  Jurnal Teknologi, 36(E) Jun. 2002: 61–74 © Universiti Teknologi Malaysia
                                                                              
[13] Harun Nasution, op. cit. hal. 28.
[14] Harun Nasution, op. cit. hal. 28.
[15] Harun Nasution, op. cit. hal. 28.
[16] Al-Gunaimi Abdul A.H.Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah .hlm 212
[17]  Syirajuddin Abbas. I’tiqad Ahlus sunnah Waljamaah, hlm 161
[18]  Ibid ,hlm 161
[19]  Ibid ,hlm 161-162
[20] Ibid hlm ,160
[21] DR Rosihon Anwar  Ilmu Kalam  hlm 146
[22] Abu Lubabah Husain  Pemikirn Hadis Mu’tazilah  halm 37
[23] DR Rosihon Anwar  Ilmu Kalam  hlmn 146
[24] Wensick op ct  halm 135
[25] Rof Aswadie Syukur, LC Al-milal wa Al-nihal  halm  42
[26] Ibid hlm 51
[27] DR Rosihon Anwar  Ilmu Kalam  hlm 147

[28] Ibid
[29] DR Rosihon Anwar  Ilmu Kalam  hlm 147
[30] DR Rosihon Anwar  Ilmu Kalam  hlm 147
[31] Abu Lubabah Husain  Pemikirn Hadis Mu’tazilah  halm 56
[32] DR Rosihon Anwar  Ilmu Kalam  hlm 147
[33] Mohd. Said Ishak  Jurnal Teknologi, 36(E) Jun. 2002: 61–74 © Universiti Teknologi Malaysia
[34] Mohd. Said Ishak  Jurnal Teknologi, 36(E) Jun. 2002: 61–74 © Universiti Teknologi Malaysia
[35] Mohd. Said Ishak  Jurnal Teknologi, 36(E) Jun. 2002: 61–74 © Universiti Teknologi Malaysia
                                                                              

0 komentar:

Post a Comment